Siti tersenyum. “Besok juga sembuh, Bu,” katanya yakin.
***
Sampai di depan rumah hari sudah mulai gelap. Lampu depan sudah dinyalakan Bik Minah. Rumah sederhana, kecil, terlampau sederhana malah buat saya yang sejak kecil tinggal di perumahan elit di Jakarta. Rumah dinas buat dokter di kampung terpencil ini.
Kebun seluas sepuluh bata (140 meter persegi) di sebelah rumah, dibuat taman dengan bantuan Mang Karta dan tetangga lainnya. Sebuah gubuk bambu, panggung, berdiri cantik di tengah taman. Gubuk tempat anak-anak membaca buku dan belajar apa saja. Baru sebulan gubuk itu dibangun.
Siti yang mempunyai ide. Anak kurus itu membaca buku hampir setiap hari. Kebetulan saya mempunyai koleksi buku bacaan. Mulai dari cerita, dongeng, sampai ensiklopedia. Sejak kecil hobi saya membaca dan mengoleksi buku. Untuk teman sepi saja sebagian saya bawa ke sini.
“Seandainya Ibu punya taman, ada gubuk di tengahnya, kita bisa lebih leluasa membaca dan belajar ya, Bu,” kata Siti suatu kali. Mungkin dia merasa canggung saat datang untuk membaca buku saya kelihatan masih lelah.
Besoknya Siti datang lagi dengan laporan baru. “Bu, kata Abah saya, kalau Ibu ingin dibuatkan gubuk, boleh dipakai saja kebun di sebelah rumah ini,” katanya. “Kebun itu kan dititipkan ke Abah saya.”
Tiga hari kemudian, hari minggu, Mang Karta datang bersama tetangga lainnya. Mereka membersihkan kebun, membuat taman, membangun gubuk bambu. Anak-anak bergembira ikut membantu. Ibu-ibunya membuat nasi liwet. Sorenya sudah berdiri sebuah gubuk, taman yang tertata rapi meski tanamannya baru sedikit.
***
Duduk di gubuk panggung menjelang gelap, saya seperti menyusuri perjalanan yang menakjubkan. Sampai tiga tahun yang lalu ketika begitu gembiranya saya diantar Ayah dan Ibu menghadiri wisuda, tidak terbayangkan sedikit pun episode perjalanan hidup seperti ini.