Tapi di dalam hati saya lebih sunyi lagi. Saya teringat suatu pagi di hari minggu, saat jalan-jalan menyusuri perkampungan, saya mampir ke sebuah rumah. Mereka sedang makan. Saya ikut makan. Saya harus mencoba akrab dengan mereka, membiasakan diri makan apa yang mereka makan. Saya begitu terpana saat suap pertama masuk ke mulut. Gigi saya berhenti mengunyah. Saya ingin muntah, tapi ditahan.
“Maaf, Bu, nasinya tidak pakai bumbu-bumbu,” kata Mak Esih sudah terus rasa. “Saya tidak mengira Ibu akan ikut makan, jadi beras raskin saya tanak biasa saja.”
Semalaman saya tidak bisa tidur. Hampir setiap hari mereka makan seperti itu. Bagaimana bisa kebutuhan gizi mereka cukup? Bagaimana dengan anak-anak? Mereka memelihara ayam, tapi menjelang musim hujan ayamnya mereka jual. Mereka tidak menganggap penting menanam sayuran di halaman.
***
Setelah dua tahun saya mengabdi di Puskesmas terpencil ini, Ayah dan Ibu menjemput.
“Saatnya sekarang kamu pulang. Meneruskan profesi atau spesialis. Masa depanmu ada di Jakarta atau kota besar lainnya,” kata Ayah.
Tapi saya menangis. Saya pulang ke Jakarta. Jakarta yang ramai. Jakarta yang padat. Tapi saya merasa kesepian. Ada sesuatu yang perih di dalam hati saat memandang anak-anak kecil menadahkan tangan di tempat pemberhentian, orang-orang mengais sampah di pembuangan akhir, orang-orang berdesakan sampai ada yang pingsan bahkan meninggal setiap orang kaya atau pejabat membagikan sembako gratis atau angpau. Saya seperti orang buta yang baru saja diberi keajaiban bisa melihat.
“Saya mau sekolah lagi, tapi mau kembali lagi ke Ciceuri,” kata saya.
“Kenapa?” Ayah seperti yang bingung. “Bagaimana kamu akan mendapat jodoh kalau kamu tetap di sana?”