Dari riset sejarah yang saya lakukan, peserta dari demontrasi ini, sama dengan peserta demonstrasi pada peristiwa reformasi 1998. Dalam peristiwa Malari dan 1998, ada konflik antar Jenderal. Dan ada juga kelompok komunis yang disamarkan dengan penyebutan kelompok pluralis dan menyusup dalam kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dilarang.
Bagi saya pribadi, tuntutan demonstrasi ini tidak logis dan terlalu mengada-ada. Berdasarkan catatan sejarah, demontrasi Malari tersebut menuntut tentang pemerintahan bersih tanpa korupsi, meminta perubahan penanaman modal asing, dan pembubaran fungsi Jabatan Asisten Presiden.
Ketiga tuntutan ini bila dihadapkan dengan kondisi pemerintahan sejak 1966-1974, sungguh sangat tidak relevan. Mengingat, pemerintahan Orde Baru bukan berdiri secara konstitusional pada tahun 1966, namun baru efektif secara demokrasi Pancasila pada 1971, setelah diselenggarakannya Pemilu 1971.
Dalam pandangan saya, demonstrasi Malari merupakan perilaku yang tidak konsisten. Dari beberapa arsip majalah Tempo yang saya baca menjelaskan, adanya upaya dan tindakan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan pada masa itu. Demontrasi memang menolak kegiatan yang bersifat damai, serta sengaja agar menimbulkan permasalahan.
Berdasar arsip Tempo, ditemukan tulisan yang menyebut, ”Soemitro mengaku sudah menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Kemudian, Perdana Menteri Jepang Tanaka sudah bersedia, namun DM-UI menjawab menolak, lalu menawarkan dialog resmi diganti dengan dialog jalanan….”
Analisa saya pribadi, kegiatan Malari sangat identik dengan Reformasi 1998. Berbagai artikel dan tulisan sejarah menyebutkan, peserta demontrasi, latar belakang pemikiran, dan kegiatan pendahuluan, serta adanya tuntutan yang mencerminkan keberadaan TNI dalam pemerintahan. Demikian pula adanya konflik antar Jenderal, rute gerakan, serta tokoh yang mendukung gerakan, maka dapat disimpulkan, kegiatan demontrasi ini identik dengan Peristiwa 1998.