Urgensi Literasi di Balik Jeruji

Misalnya, semua warga yang berbakat menjadi penulis dengan bukti telah menghasilkan buku yang baik tidak dibiarkan sibuk menjadi pegawai di lingkungan instansi negeri maupun swasta. Mereka bisa saja tetap mendapat gaji rutin sebagai pegawai negeri (jika telanjur jadi PNS) tapi setiap hari diharuskan untuk tinggal di rumah dalam rangka menulis sebaik-baiknya.

Jika kepedulian pemerintah daerah terhadap perkembangan literasi dapat terwujud sebagaimana yang diandai-andaikan di atas, tentu akan banyak penulis yang berkarya lebih baik. Di antaranya layak diharapkan mampu melahirkan karya monumental untuk memperkaya budaya bangsa. Dalam hal ini, pemerintah memang bisa saja dianggap telah memanjakan penulis, tapi penulis sebenarnya memang layak dimanjakan oleh pemerintah, apalagi jika istilah memanjakan sama dengan membebaskannya untuk suntuk berkarya.

Tentu tidak memberatkan manakala pemerintah memanjakan penulis dengan memberikan gaji tetap tanpa harus bekerja di kantor sebagaimana pegawai pada umumnya. Sebab, jumlah penulis tidak banyak di negeri ini. Dan jika menimbulkan kecemburuan, gara-gara pemerintah memanjakan penulis, maka bisa saja diatasi dengan sistem seleksi.

Kita layak mendorong pemerintah bersedia memanjakan penulis, setelah memanjakan atlet-atlet dengan anggaran yang cukup besar meskipun mereka tidak mampu berprestasi yang dapat membanggakan. Sudah saatnya pemerintah lebih peduli perkembangan literasi, setelah sangat peduli perkembangan olahraga. Bukankah semua pihak mendambakan keseimbangan hidup yang sehat jiwa raga? Jika olahraga dipercaya dapat menyehatkan raga, literasi harus dipercaya dapat menyehatkan jiwa.

Lihat juga...