Urgensi Literasi di Balik Jeruji

Kini, ketika kebebasan berekspresi nyaris tanpa batas lagi, banyak penulis justru tidak mampu bersikap independen. Bahkan banyak penulis berbakat justru rela “gantung diri” pada lembaga-lembaga seperti partai politik atau instansi swasta dan negeri, karena tergiur iming-iming pangkat yang di dalamnya berarti kemewahan hidup yang dianggap mustahil diperoleh dengan tetap berkarya sebagai penulis independen.

Harus diakui, di negeri ini, bagi penulis memang sulit untuk mempertahankan independensi. Pasalnya, honor atau royalti atas publikasi karyanya relatif kecil dan tidak menentu. Dalam kondisi demikian, sering muncul komentar bahwa siapa pun yang nekat hidup sebagai penulis sama dengan memilih hidup miskin selamanya. Padahal, setelah era ekonomi sebagai panglima, segala prestasi hidup anak bangsa dinilai dengan uang. Artinya, setinggi apa pun prestasi seseorang akan cenderung diremehkan jika tidak menghasilkan banyak uang.

Di masa reformasi kini, ketika berekspresi sudah serba bebas nyaris tanpa rasa takut, justru membuat banyak penulis berbakat tak berani hidup hanya sebagai penulis. Dan karena itulah, sangat jarang ada buku monumental yang lahir. Hanya karya-karya pop yang sifatnya sementara saja yang meledak di pasaran karena pengaruh pola hidup latah. Dengan kata lain, hanya muncul buku-buku yang laris manis dalam waktu singkat karena kebetulan semula dibaca oleh public figure yang kemudian diikuti oleh penggemarnya dan masyarakat luas.

Dukungan Pemerintah

Kita layak berandai-andai, jika misalnya pemerintah mau lebih peduli terhadap perkembangan literasi, tentu bisa saja membantu penulis-penulis untuk lebih suntuk kreatif menulis sehingga menghasilkan karya-karya hebat.

Lihat juga...