OLEH NAZIL MUHSININ
Di tengah fenomena kemiskinan literasi, khususnya bagi warga binaan yang sedang menjalani hukuman kurungan penjara, muncul kabar menggembirakan tentang adanya gerakan literasi di balik jeruji yang diberi nama Pustaka Jeruji.
Sebagai wahana menyalurkan minat baca tulis bagi warga binaan, gerakan literasi tersebut pertama kali dideklarasikan di Lapas Maros, beberapa waktu lalu. Menteri Hukum dan HAM, Yassona H. Laoly memberikan dukungan penuh.
Yang lebih menarik, gerakan literasi tersebut melibatkan Perpustakaan Nasional, PT Pos Indonesia, Pustaka Bergerak, Kompas Gramedia dan Forum Lingkar Pena tentang Peningkatan Budaya Membaca dan Menulis bagi Tahanan, Anak, Narapidana dan Klien Pemasyarakatan.
Selama ini, warga binaan identik dengan manusia terpuruk dalam dunia gelap karena tidak ada bahan bacaan memadai yang bisa mereka baca. Maka kisah-kisah menyeramkan di balik jeruji pun selalu melekat bagi mereka yang sedang menjalani hukuman kurungan penjara.
Bahkan, ada semacam stigma bahwa penjara identik dengan kelas kriminal, karena faktanya tidak sedikit yang pernah masuk penjara setelah bebas justru makin jahat dan kemudian masuk penjara lagi.
Dengan kata lain, tidak sedikit residivis yang keluar masuk penjara, karena selama di dalam penjara tidak bisa menyerap ilmu pengetahuan yang mencerahkan hidupnya.
Pustaka Jeruji membuka kemungkinan lahirnya intelektual dan penulis di balik tembok dan jeruji penjara, jika warga binaan bersedia memanfaatkan waktunya untuk membaca dan belajar menulis dengan serius. Dalam hal ini, banyak data empiris membuktikan bahwa banyak tokoh besar yang telah menggembleng dirinya secara intelektual dan kreatif di dalam penjara.