Urgensi Literasi di Balik Jeruji

Misalnya, Bung Karno dan Bung Hatta, adalah dua nama besar yang pernah di penjara dan setelah bebas makin hebat karena waktunya di penjara digunakan untuk membaca dan menulis.

Bahkan, Bung Hatta pernah berujar: “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Sekadar diingat, Buya Hamka menulis Tafsir Al-Azhar di dalam penjara selama empat tahun empat bulan. Begitu juga Pramoedya Ananta Toer menulis novel-novel besar seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca dan Jejak Langkah, ketika ditahan di Pulau Buru dalam waktu sekitar seperempat abad.

Data-data sejarah tersebut layak disodorkan untuk mengenang sejumlah penulis besar yang telah menghasilkan karya monumental yang ditulis dari dalam jeruji besi. Terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu, karena hampir di semua negara pada masa-masa tertentu bermunculan karya-karya monumental yang lahir di dalam penjara atau tahanan.

Yang lebih penting untuk dibahas adalah hubungan antara proses kreatif menulis dengan tahanan. Betapa tiap karya sebagai media ekspresi bisa justru mempesona khalayak pembaca karena ditulis di dalam tahanan. Hal ini membuktikan bahwa bagi penulis, kebebasan hidupnya yang telah terpenjara tidak menghalanginya untuk tetap menulis karya-karya bermutu. Dengan kata lain, karya-karya bermutu ternyata bisa lahir dari ketidakbebasan ragawi.

Selain itu, lahirnya banyak buku di dalam tahanan juga membuktikan betapa jiwa manusia tetap merdeka meskipun fisiknya terpenjara. Dalam hal ini, jiwa kreatif yang merdeka bisa tetap menyuarakan banyak hal dengan verbal melalui tulisan. Di sinilah pentingnya independensi jiwa bagi penulis. Tanpa independensi jiwa, penulis tak akan mampu berkarya dengan baik.

Lihat juga...