Lelaki Tua dan Kuburan Tanpa Nisan

Setelah berbicara panjang, hati Karta bergetar. Ia ambil nafas panjang dan matanya seperti melampaui segala apa yang dilihat. Mata tua yang sayu itu mengucurkan deras air hangat yang meleleh di pipi.

“Apa kalian setuju dengan apa yang kupikir? Tiap diri dari kita harus membuat kubur dan menghiasnya?” suara serak itu disertai dengan isak tangisnya.

“Untuk apa? Itu usaha yang sia-sia,” celetuk salah seorang warga.

“Agar kita bisa menghitung tiap perbuatan. Sebab kuburan adalah semacam kaca tempat kita bercermin,” sambil mengusap air mata, Karta tetap meyakinkan warga.

“Itu namanya putus asa!” jawab warga dengan ringan.

“Untuk mengerti, kalian memang harus pernah berjuang terlebih dahulu, seperti kami dulu, agar kalian bisa memaknai hidup, memaknai kemerdekaan ini, dan selanjutnya membuat kuburan sepertiku!” suaranya semakin lemah.

Karta merasa tak berhasil meyakinkan warga, bahwa apa yang telah diperbuatnya adalah benar. Meski ia telah memberi penjelasan yang lebih, yang dia sendiri pada dasarnya sudah tak percaya akan semangatnya lagi. Kemudian ia pulang, pergi dari kerumunan warga yang menyesakkan itu.

Esok hari, di pagi sekali, orang-orang kampung dikejutkan dengan berita di layar televisi. Jenderal Purnawirawan Sukarta (veteran), ayahanda tercinta Kolonel Surip, pukul 09.15 WIB menghembuskan napas terakhir dalam usia delapan puluh lima tahun, di kampung halaman tercinta, Desa Kalipang, Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan. Ia adalah pemimpin gerilya yang telah mempersembahkan seluruh jiwa raga untuk nusa dan bangsa. Almarhum Sukarta memilih tempat tinggal terakhir di desa kelahirannya. Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pindah ke kampung, setelah bertahun-tahun lamanya menetap di Ibu Kota Jakarta, sejak tahun 1963, tepatnya di bulan September. Purnawirawan Jenderal Sukarta memang ingin mati di tempat perjuangannya dahulu, di sisi ayah bunda dan kerabat dekatnya, serta teman-temannya yang gugur mendahului di masa gerilya dahulu. ***

Lihat juga...