“Sudah hampir lima puluh tahun ya, engkau tak pernah nengok kampung ini. Dimana saja engkau Karta?”
Karta benar-benar telah kehilangan kata-kata. Saat nenek itu mengingatkan lagi masa lalunya. Dalam hatinya pun terbesit oleh sesuatu, “Kau tentu telah bahagia Karta?” Ia benar tak bisa memahami selama hidup, apa arti kebahagiaan itu? Pangkat, kehormatan, dan harta benda yang ia miliki, nyatanya telah membuat hidupnya semakin terasing. Karena kebahagiaan menurutnya hanya ada dalam angan-angan atau kebahagiaan itu lebih tepatnya hanya ada pada diri orang lain saja.
Begitulah tiap ia melihat kebahagiaan, saat itu pula ia membayangkan pada kehidupan orang lain, dan tak ada pada dirinya. Padahal ia mempunyai segalanya, apa yang orang sebut dengan bahagia. Satu-satunya yang ia tahu makna kebahagiaan, hanyalah pada saat hari-hari gerilya, perang melawan penjajah. Masa-masa perjuangan itulah hari-hari yang menyenangkan, haru biru melawan musuh-musuh. Sapaan merdeka atau mati, di tiap tikungan jalan, saat itulah kebahagiaan memukau dirinya.
“Kau ingat, Kar?” kata nenek itu sambil jalan tertatih membawa tongkat, “Lima puluh tujuh tahun yang lalu, sebelum kau beristrikan Yu Sri, ketika pagi-pagi sekali kau sedang buang hajat, tiba-tiba seorang tentara Belanda memberondongmu, dan dua peluru nyasar pinggangmu. Lalu kau lari terbirit-birit ke persembunyian kita di semak-semak lor kali (utara sungai).”
“Ya aku ingat! Tapi itu sudah lama berlalu.”
“Saat kau selamat dan bisa berkumpul dengan kami, bau buang hajatmu yang tak selesai itu bikin hiburan teman-teman yang sedang makan beramai-ramai!”
Diingatkan hal itu, Karta hanya senyum sedikit saja. Ia diam lagi, kini pikirannya diam-diam menyusup ke wilayah yang jauh, lima puluh tujuh tahun lamanya, masa-masa perjuangan.