Nyaris tak ada warga yang percaya dengan perkataan lelaki tua itu. Bahkan kebanyakan dari kami menganggap bahwa itu cerita bualan. Namun, meski begitu, warga dan Pak Kades menghormati dengan cara membiarkan ia bercerita. Suasana hening sesaat, tak ada yang memberi komentar atas pengakuan lelaki tua itu, namun seorang nenek renta dengan kapur sirih di bibirnya, tiba-tiba muncul di balik pintu rumah Pak Kades. Rupanya dari kamar sebelah ia menguping cerita lelaki tua itu. Kemudian nenek yang tak lain ibu kandung Pak Kades itu berkata.
“Pak Karta?” kata nenek berambut putih itu. ”Aku mengingatmu, ya aku mengingatmu. Masa lalu. O, kaulah pemimpin gerilya yang menyerang benteng Belanda saat itu, saat penjajah memaksa mengambil hasil panen penduduk desa ini. Namun sejak saat itu kamu menghilang. Kukira engkau sudah meninggal bersama dengan mereka. Betulkah namamu Karta?”
”Ya, namaku Karta.”
Suasana riuh tiba-tiba menjadi nyinyir dan sunyi. Warga dan Pak Kades mengamati ibunya, begitu saja mereka berpelukan dengan lelaki tua yang bernama Karta itu. Semua mata warga tertuju pada dua sosok yang sama-sama renta ini, juga menyaksikan masa lalu sedang berputar kembali di depan matanya. Masa gerilya yang tak seorang pun diantara mereka pernah merasakan pahit getir perjuangan untuk melawan penjajah.
“Kau sekarang pulang ke kampung ini, dan anakmu telah menjadi kolonel, tentu kau berbahagia sekali Karta?” suara nenek itu terbata-bata.
“Bahagia? Aku sendiri bertahun-tahun lamanya sedang bertanya soal itu?” jawabnya.
“Ya pasti kau bahagia, anakmu menjadi orang terpandang, meski istrimu telah lama tiada?”
Karta diam, tak bisa menjawab apa-apa lagi.