“Sebenarnya aku sudah lupa, tapi sekarang kau ingatkan lagi. Ya, waktu itu seperti sekarang ini, masih pagi. Orang-orang kampung kita sudah meruncingkan bambu, siap-siap melawan Belanda. Kami berperang dengan cara gerilya, sebagian ada yang mengumpat di semak, sebagian memanjat pohon, dan sebagian yang lain ada dalam lubang tanah. Saat itu kukira tak ada Belanda, makanya aku buang hajat seenaknya, tak tahunya, Belanda dari jauh menembakku.”
“Dan akulah perempuan yang pertama kali merawatmu itu?”
“Ya.”
“Masa itu aku masih gadis?”
“Ya, aku masih ingat, aku tersipu, saat kau merawatku penuh dengan perhatian. Saat itu pun aku tahu kau mau bicara, aku menunggu. Tapi tak ada apa-apa, lalu kita sibuk bersembunyi karena Belanda menyerang.”
“Kala itu sebenarnya aku ingin mengucapkan sesuatu yang indah buatmu agar bisa memberimu semangat untuk bertahan dari siksaan peluru. Tapi bagaimana itu bisa kuucapkan. Sementara Front Timur banyak yang terluka. Bukankah saat itu sebagai perempuan, merawat lelaki yang terkapar dari perang adalah segalanya?”
“Ya, aku mengerti!”
“Begitulah kalau ada warga yang kena peluru, kami langsung merawatnya, dan di waktu malam-malam yang sunyi, kami menghibur mereka, kami bernyanyi, kadang juga menembang. Mereka pun dapat melupakan luka dan segala hal yang menekan. Karena perjuangan masih harus diteruskan sampai titik darah penghabisan!”
“Namun aku sekarang tak bisa bahagia seperti dulu. Sekarang malah aku sering menangis. Menangisi segala sesuatu yang sudah hilang?”
“Untuk apa menangisi masa lalu?”
“Aku tahu itu tak ada gunanya. Tapi aku selalu mengenang. Dulu kita bisa berbuat banyak hal yang berarti untuk negeri ini. O alangkah bahagianya hidup dalam kebersamaan mempertahankan negeri. Kita bisa berjuang sesuai apa yang kita impikan. Berjuang untuk merdeka, ya merdeka!”