“Jadi kuburan itu masih kosong?” tanya warga yang lain.
“Ya. Sebab masih menungguku.”
“Kau masih hidup, kenapa sudah tergesa saja membuat kuburan?”
“Karena itulah rumah yang sebenarnya rumah, yang tak ada satupun bisa mencegah untuk masuk di dalamnya. Rumah yang pasti. Karena itu aku telah mempersiapkannya.”
Kerumanan warga itu tampak keheranan. Denyut jantung berdetak kencang saat mendengarkan penjelasan Pak Karta lebih lanjut.
“Buatmu yang masih bugar ini?” tanya warga yang lain sambil terheran-heran.
“Tentu,” ia berhenti sejenak bicara kemudian melanjutkan perkataan. ”Kalau kau berpikir seperti aku, pasti kau berbuat seperti apa yang kulakukan.”
“Apa yang kau pikirkan?” tanya warga tiba-tiba.
Karta jadi gugup dan tersentak dari keterbebanan perasaan yang sedang naik turun. Akhirnya kata-kata pun berhasil disusunnya.
“Kalau kau pernah mengalami seperti aku, hidup di zaman revolusi, gerilya, perang mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan, pasti kau merasa sudah mati di zaman merdeka seperti sekarang ini,” katanya latah dan terbata.
Kemudian lelaki tua itu meneruskan perkataan. “Ya, hidup setelah merdeka memang seperti hidup dalam kematian. Betapa tidak? Kemerdekaan yang kami pertaruhkan dengan nyawa, darah dan segala upaya, dengan harapan kita bisa hidup di bumi percikan surga ini dengan bebas, makmur dan sejahtera, tanpa ada rintangan. Ternyata keadaannya, ya keadaannya sungguh jauh dari harapan. Di zaman merdeka ini, betapa kita sering mendengar rakyat terkena korban penggusuran atas nama pembangunan, kemudian sebagian dari mereka terlantar, mengalami busung lapar, dan lagi-lagi berita korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Ternyata anak-anak sejarah mengisi kemerdekaan hanya dengan cara kenyang mengisi perut sendiri. Inilah yang membuat aku seperti mati. Lalu aku membuat liang kubur ini untukku!”