“Tentu hidup seperti itu tidak akan selamanya berlangsung. Karena suatu masa akan berhenti pada waktunya. Dan perang telah selesai, bahkan seperti yang kita harapkan dulu, yaitu kita mendapatkan kemerdekaan!”
Hati Karta menjadi remuk dan berteriak, meneriakkan banyak kenangan yang datang mengharu biru, saat-saat masa gerilya, ia mencoba membuang segala kerisauan. Tapi ia tak mampu, bahkan ia semakin tenggelam dengan masa silam yang terus berputar-putar di kepala.
“Anakmu jadi kolonel, rumahmu mewah, banyak harta, dan pernah kudengar kau juga mendapat penghormatan dari presiden karena kegigihanmu membela tanah air, apa yang kurang dari hidupmu?” kata nenek itu penuh semangat.
“Di tengah-tengah kemewahan itulah aku terasing dan tercampakkan dari hidup yang sebenarnya!”
Tapi, nenek itu tak paham apa yang telah dikatakan Karta. Warga yang mengerumuni lelaki tua itu tak ada yang berbicara sepatah pun, suasana dibiarkan hanya milik mereka berdua. Karta dan nenek renta itu. Kurang lebih setengah jam mereka berbincang-bincang di halaman rumah dalam kerumunan warga yang ingin mendengar ceritanya.
Tiba-tiba, temanku yang dari awal mencurigai perihal kuburan itu, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Karta. Karena kesempatan seperti inilah yang sedang ditunggu-tunggu, sejak ia melihat kuburan di pelataran rumah mewah itu.
“Lalu kuburan di depan rumah itu, kuburan siapa?” tanya temanku dengan penuh penasaran.
“Itu adalah kuburan untukku suatu saat nanti!” jawab Karta pendek.
Betapa terkejutnya warga mendengar penjelasan lelaki tua yang baru tahu kalau ia bernama Karta. Mata mereka terperangah setelah mendengarkan penjelasan.