Pada masa pemerintahan orde baru, Pak Tarto adalah seorang Jenderal Angkatan Darat selama orde baru berkuasa. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR, karena saat itu masih diberlakukan dwifungsi ABRI. Pada masa orde baru, Pak Tarto adalah salah satu Jenderal yang berperilaku tegas. Ketika anggota/bawahannya terlambat masuk kerja, langsung ditampar hingga pipinya merah. Bahkan, kalau anak buahnya menyeleweng, akan dibanting. Sebab, di masa mudanya, Pak Tarto pernah juara karate hingga tamat sabuk hitam. Bahkan, karena sukses di berbagai hal, Pak Tarto sempat dijadikan Ketua PB FORKI di masa Pak Harto.
”Permisi, Pak Tarto. Jika diperkenankan, saya hendak bertanya. Bagaimana tanggapan Bapak mengenai situasi reformasi?”
“Reformasi telah membuat segenap TNI merasa diasingkan. Malah, sekutu kita, yaitu Polri, diberi ruang bebas. Bagi saya, reformasi hanyalah segumpal sampah.”
“Oh, begitu ya, Pak.”
”Saya sangat kasihan terhadap TNI. Mereka sampai tidak boleh memilih saat pemilu berlangsung, dengan alasan, masih berdinas.”
”Hal itu tidak bisa dibiarkan, Pak Tarto,” kata Andi.
”Saya setuju denganmu, Nak. Kita butuh suatu perubahan.”
Soal keinginan atas perubahan, sebenarnya sudah menjadi suara hati Andi sejak lama. Sebab, hal itu sudah menjadi tanggung jawabnya guna memperbaiki Indonesia.
Sedari kecil, Andi sudah ingin bercita-cita menjadi seorang pemimpin negara. Ia sangat mengidolakan Presiden Ronald Reagen. Reagen dari artis saja bisa menjadi presiden, tentunya seorang demonstran seperti Andi juga bisa.
”Oke, Pak. Terima kasih telah menemani saya berbicara,” pamit Andi kepada Pak Tarto.
”Iya, sama–sama, Dik.”