Dalam hati Andi, keadaan siswa di sekolah ini sangat bertolak belakang dengan keadaannya dulu. Meski demikian, mereka tetap tidak takut dengan aparat atau politisi yang menangkap mereka. Karena, sekolah ini sudah di back-up oleh Kodim yang terletak di belakang sekolah yang respek terhadap pemerintahan orde baru.
“Oh, begitu Irma. Saya mengerti perasaanmu”.
”Irma, dengar-dengar, di sini ada kantor Korem yang mem-back up sekolah ini?”
”Iya, betul, Pak.”
”Bapak tinggal keluar lewat pintu belakang, nanti kira-kira selangkah dari sana, sudah ada bangunan hijau, dan itu Korem.”
”Terima kasih, Irma. Bapak izin dulu.”
Lalu, Irma masuk ke kelas kembali. Kemudian, Andi mengucapkan terima kasih kepada Guru Sejarah, lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Perjalanan ke Korem, sama seperti ketika pergi ke SDN 4, sama-sama dekat. Dengan kata lain, tidak perlu menggunakan transportasi motor/mobil yang hanya membuang-buang bensin. Sejak kecil, Andi dididik keras oleh orang tuanya untuk menyayangi lingkungan. Menggunakan transportasi kendaraan bermotor hanya untuk perjalanan jauh. Kesadaran itu muncul di keluarganya, karena kekayaan alam Indonesia yang semakin lama, semakin rusak. Bahkan, saking kerasnya, setiap kali ia membuang sampah sembarangan, ia sampai ditampar dan dikunci di dalam kamar mandi dalam keadaan lampu mati. Tindakan ini yang menjadikan Andi seperti sekarang.
Sesampainya di Korem, ia bertemu dengan seorang polisi militer. Seorang pria yang kira-kira berusia 60-an, menggunakan kacamata dan berkumis tebal.
Setelah dipersilakan duduk di ruangan, Andi mengutarakan maksudnya, ingin bertanya perbandingan masa Orde Baru dan masa Reformasi. Lalu, Polisi Militer itu, Pak Tarto berkenan menjawab.