Penalti

CERPEN SUNLIE THOMAS ALEXANDER

KURANG-lebih dua belas tahun sebelum Ari Irawan berdiri di depan titik putih itu, ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Bopi, anjing kesayangannya ditembak mati oleh ayahnya dengan sepucuk pistol. Saat itu ia baru kelas empat entah kelas lima SD.

Anjing berbulu coklat tua tersebut hanya mendengking lemah tatkala peluru menembus tepat di antara keduanya yang sayu. Ari menjerit dan meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari pegangan ibu dan bibinya yang begitu kencang. Di pekarangan itu, di bawah batang rambutan yang sedang berbuah lebat, Bopi tampak menggelepar sesaat sebelum terkulai diam untuk selama-lamanya.

Semua terjadi begitu cepat, hanya dalam hitungan detik. Tetapi Ari tak pernah bisa melupakan tatapan sayu binatang yang terikat rantai itu saat menyongsong maut. Sampai bertahun-tahun lamanya ia masih saja memimpikan sepasang mata Bopi yang memeras, dan kerap terbangun di tengah malam dengan sekujur tubuh bersimbah keringat dingin. Kadangkala binatang itu mendatanginya dalam mimpi dengan kening berlubang yang masih mengeluarkan darah segar dan bau mesiu.

Ayahnya—si sersan—dengan wajah datar memasukkan bangkai Bopi ke dalam karung goni dan memanggil Mang Sapar, paman bungsunya yang ketika itu belum menikah dan masih tinggal bersama mereka.

“Bawa ini ke rumah Oom Nainggolan!” tukas si sersan dingin. Dan Ari kembali menjerit-jerit membayangkan tubuh anjingnya dikuliti dan dipotong-potong.
***
KEDUA lututnya terasa goyah. Kini sepasang mata kiper lawan di hadapannya itu menatapnya dengan sayu, persis seperti kedua mata Bopi yang mengibakan. Keringat dingin membasahi kostum Ari. Didengarnya para suporter terus mengelu-elukan namanya. Stadion bergemuruh semakin riuh.

Lihat juga...