SENIN, 22 MEI 2017
YOGYAKARTA — Budayawan, cendekiawan muslim, sekaligus tokoh nasional, Emha Ainun Nadjib mengatakan, dibutuhkan kearifan, kelapangan dada, kedewasaan berpikir, serta kematangan mental antar semua elemen bangsa dalam menerapkan Bhineka Tunggal Ika. Setiap unsur bangsa harus lebih mengutamanan penerimaan dan bukan penolakan, terhadap pandangan atas kebenaran yang diyakini masing-masing.
![]() |
| Cak Nun (kanan) dalam sarasehan di UGM |
Mengukuhkan Pancasila jangan sampai menjadi ancaman bagi elemen masyarakat lain yang dianggap tidak mendukung. Karena sebenarnya Pancasila tidak memiliki pertentangan sama sekali dengan Islam. Yang selama ini, keduanya kerap dianggap sebagai sesuatu yang berbeda atau bertentangan.
“Mengukuhkan Pancasila jangan sampai menolak yang kita angap menentang. Karena mereka sebenarnya bukan menetang, hanya tidak paham,” katanya dalam Sarasehan Peneguhan UGM sebagai Universitas Pancasila di Balai Senat UGM, Senin (22/5/2017).
Menurut Cak Nun, selama ini banyak masyarakat berpandangan bahwa Islam, seolah menjadi ancaman bagi Pancasila. Begitu juga sebaliknya. Seolah Indonesia bukan Islam. Padahal, Pancasila dan Islam itu seperti gula dan manis. Pancasila tidak bisa lahir tanpa wacana atau informasi tentang konsep ketuhanan. Sebagaimana tercantum dalam sila pertama.
“Kategorisasi dan polarisasi semacam itu muncul sebagai hasil kebodohan kita. Seolah yang Islamis tidak Pancasilais. yang Pancasilais tidak Islamis. Mestinya pertengkatan semacam ini tidak terjadi. Menerapkan Bhineka Tunggal Ika berati kita menerima apapun yang ada, baik itu Islam, Kristen, Jawa, Madura, NU, Muhammadiah, semuanya. Karena selama berabad-abad kita juga sudah tidak ada masalah dengan hal semacam itu,” katanya.
