CATATAN JURNALIS—Puluhan tahun lamanya, Narto Wiyono menggantungkan hidupnya dengan membuka usaha potong rambut di bawah pohon beringin kawasan barat Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Bahkan di usianya yang sudah 91 tahun, ia masih bertahan di tengah semakin sulitnya mengais rejeki.

Sejauh ingatan Mbah Narto, ia lahir pada tahun 1925. Saat itu yang diingatnya adalah situasi serba tidak enak. Sebagai warga biasa di zaman penjajahan yang tentu saja miskin, ia tidak pernah mengenyam pendidikan. Kendati pada zaman berikutnya sekolah itu tidak dipungut biaya, namun Mbah Narto yang ditemui Senin (9/5/2016) mengaku sudah terlanjur berwiraswasta.
Dengan berbagai keterampilan yang dipelajarinya selama merantau di banyak daerah, Mbah Narto pernah menjadi pedagang perhiasan imitasi seperti gelang, cincin dan anting di desa Ketawang, Kutoarjo, Jawa Tengah. Pernah pula menjadi pengrajin mobil mainan berbahan kayu di Semarang dan Demak, dan membuat minyak goreng di saat harga beras sangat mahal. Sayang, Mbah Narto yang lahir di Dusun Genitem, Sidoagung, Godean, Sleman itu tak banyak mengingat situasi politik kala itu, sehingga Mbah Narto hanya paham cara bertahan hidup. Yaitu, dengan keterampilan yang tak harus pula dipelajari di bangku sekolah.
Mbah Narto setiap hari membuka jasa potong rambut di bawah pohon beringin sejak tahun 1985. Berangkat dari rumahnya di Godean, Sleman dengan naik ojek. Untuk itu, ia harus membayar biaya ojek setiap bulannya sebesar Rp. 470.000. Mbah Narto terpaksa naik ojek, karena sudah tak lagi berani naik sepeda sendiri. Sedangkan anak-anaknya yang berjumlah 9 orang semua sibuk bekerja.
Kendati tak pernah mengenyam pendidikan formal, Mbah Narto mengaku bangga karena memiliki keterampilan otodidak. Dan, dengan keterampilannya itu ia mampu membesarkan 9 anaknya yang kini telah memberinya 21 cucu.