Konvensi PBB tentang Hukum Laut
Pada tahun 1982, 119 negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Konvensi tersebut di dalamnya memuat 9 buah pasal mengenai perihal ketentuan tentang prinsip “Negara Kepulauan”. Salah satu pasal dalam prinsip Negara Kepulauan tersebut menyatakan bahwa laut bukan sebagai alat pemisah, melainkan sebagai alat yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan lainnya, yang kemudian diimplementasikan oleh Orde Baru dengan istilah Wawasan Nusantara.

UNCLOS 1982 menyatakan bahwa di antara tujuan utama dari Konvensi tersebut adalah ‘studi perlindungan dan pelestarian lingkungan laut’. Atas dasar konvensi 1982 tersebutlah yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan Nasional tentang masalah-masalah kelautan dewasa ini. Meliputi konservasi ekosistem kelautan, mengakui kedaulatan negara dalam mengeksploitasi kekayaan lautnya, mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut.

Kebijakan Presiden Soeharto
Untuk menjawab agenda UNCLOS 1982 Presiden Soeharto mengeluarkan UU nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusive Indonesia, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konvensi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Selanjutnya pada 30 September 1996 Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 77 tahun 1996 tentang Dewan Kelautan Nasional yang langsung diketuai oleh Presiden sendiri. (Baca: Presiden Soeharto dalam KTT Bumi 1992 dan Poin Kesepakatan dokumen Rio)