Menunggang Bencana

Ciri lain dari penunggang bencana adalah kemiskinan refleksi. Mereka jarang berbicara tentang solusi jangka panjang, mitigasi risiko, tata kelola kebencanaan, atau perbaikan sistem peringatan dini.

Fokusnya selalu pada momen, bukan proses. Pada sorotan, bukan pemulihan. Dalam perspektif manajemen bencana, pendekatan semacam ini hanya berputar pada fase tanggap darurat. Mengabaikan fase mitigasi dan kesiapsiagaan yang justru paling menentukan keselamatan di masa depan.

Setelah kamera padam dan perhatian publik bergeser, mereka pun menghilang. Meninggalkan warga terdampak dengan persoalan yang masih sama. Bahkan lebih berat.

Yang paling menyedihkan, penunggang bencana sering kali mengklaim diri sebagai suara rakyat. Padahal yang mereka suarakan adalah ambisi sendiri. Penderitaan orang lain dipinjam sebagai Bahasa. Luka kolektif dijadikan alat tawar.

Dalam etika kemanusiaan, tindakan ini disebut sebagai instrumentalisasi penderitaan. Ialah menjadikan korban bukan sebagai subjek yang harus dipulihkan. Melainkan objek untuk mencapai tujuan lain.

Dalam situasi seperti ini, bencana mengalami degradasi makna. Dari tragedi kemanusiaan menjadi komoditas sosial dan politik.

Menunggang bencana bukan sekadar soal niat buruk individu. Tetapi juga soal budaya publik yang memuja sensasi dan keberpihakan semu. Selama masyarakat lebih mudah terpikat pada narasi heroik tunggal daripada kerja sunyi yang kolektif. Selama sorotan lebih dihargai daripada ketulusan. Maka penunggang bencana akan selalu menemukan jalannya dan pembenaran moralnya.

Pada akhirnya, bencana tidak membutuhkan pahlawan yang gemar berteriak. Ia membutuhkan manusia yang mau bekerja. Sering kali tanpa nama, tanpa kamera, dan tanpa klaim.

Lihat juga...