Menunggang Bencana

Padahal realitasnya negara memegang peran krusial. Dari penetapan status darurat, pembukaan akses logistik, rekonstruksi infrastruktur, hingga rehabilitasi sosial-ekonomi jangka panjang. Ada ribuan tangan bekerja. Relawan lokal, aparatur sipil, TNI, tenaga medis, tokoh masyarakat, hingga warga terdampak itu sendiri.

Namun bagi penunggang bencana, kompleksitas ini harus disederhanakan. Realitas diperas menjadi hitam-putih agar mudah dijual dan mudah dipercaya.

Motif pertama yang paling kasat mata adalah popularitas. Bencana menyediakan emosi mentah: duka, marah, takut, dan harap. Dalam teori attention economy, emosi ekstrem adalah komoditas bernilai tinggi. Dengan berteriak paling lantang, mengutuk paling keras, atau tampil paling “berani melawan”, seseorang dapat dengan cepat dikenal dan diviralkan.

Motif ini tidak jauh berbeda bobot moralnya dengan mereka yang membagikan bantuan sambil menyiapkan kamera. Bukan untuk keperluan transparansi, tetapi untuk konten. Bantuan berubah dari tindakan kemanusiaan menjadi properti personal. Sementara penderitaan korban direduksi menjadi latar belakang visual.

Motif kedua adalah motif politik. Dalam situasi bencana, legitimasi negara berada pada titik paling rapuh. Ilmu politik menyebut kondisi ini sebagai critical juncture. Momen krisis yang membuka peluang pergeseran kepercayaan publik. Rasa frustrasi warga mudah diarahkan.

Di sinilah penunggang bencana bermain. Memelihara kemarahan, merawat kecurigaan, dan menanam kesan bahwa hanya merekalah yang benar-benar peduli. Etikad baik pihak lain dianggap ancaman. Karena mengurangi panggung politik yang sedang dibangun. Solidaritas dikorbankan demi akumulasi simpati dan keberlanjutan eksistensi politik.

Lihat juga...