Kabinet masih berada dalam fase pencarian bentuk, antara kebutuhan akan loyalitas politik dan tuntutan profesionalisme teknokratis. Tantangan ke depan adalah menjadikan tim pemerintahan bukan sekadar representasi politik, tetapi juga mesin efektif untuk memacu kebijakan dan program nasional. Sesuai arah percepatan yang diinginkan presiden.
Dalam konteks politik nasional, gerakan oposisi tampak mendua. Mereka sering mengarahkan kritik kepada Wakil Presiden Gibran dan sejumlah figur kabinet yang dianggap kinerjanya belum optimal. Menariknya, oposisi enggan berhadapan langsung dengan Presiden Prabowo.
Pola ini menunjukkan munculnya “oposisi selektif”. Menyerang pada tingkat teknis dan personal, tetapi menghindari konfrontasi frontal terhadap pusat kekuasaan. Fenomena ini dapat dibaca sebagai reposisi politik. Sebagian kelompok oposisi berusaha menjaga ruang tawar untuk tetap dapat masuk ke lingkar kekuasaan pada momentum berikutnya.
Gerakan oposisi semakin meredup setelah beberapa tokoh memperoleh pengampunan politik. Seperti Tomb Lembong mendapatkan abolisi dan Hasto yang menerima amnesti. Sejak saat itu, daya kritis oposisi melemah; kritik yang tersisa lebih bersifat simbolik ketimbang strategis.
Sejumlah program unggulan pemerintahan juga menuai kritik. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diapresiasi luas karena menyentuh masyarakat bawah. Akan tetapi menghadapi persoalan teknis. Sejumlah kasus keracunan massal di beberapa daerah menimbulkan pertanyaan serius mengenai kesiapan logistik, standar pengawasan kualitas, dan koordinasi lintas kementerian.
Di sisi lain, agenda pemberantasan korupsi dinilai perlu percepatan dan keberanian politik lebih besar. Publik menyoroti terhentinya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU-PA) yang semula diharapkan menjadi terobosan penting dalam pemulihan keuangan negara dan pencegahan korupsi sistemik. Kemandekan itu menimbulkan kesan bahwa komitmen antikorupsi pemerintah masih menghadapi tarik-menarik kepentingan politik dan hukum.