Beda orientasi. Akan tetapi keempat elemen gerakan itu melabeli diri reformis. Publik juga tidak cukup menilai dan memverifikasi orientasi gerakan masing-masing. Semua dianggap sebagai reformis.
Kelima, presiden Soeharto dengan agenda tinggal landas. Ia tidak risau atas berakhirnya kekuasaan. Ia risau atas agenda tinggal landas yang hanya kurang tiga tahun. Untuk memiliki pijakan kuat lepas ketergantungan dari negara-negara barat. Ia minta privilage sampai tahun 2000 saja.
Sebagaimana kita ketahui, Presiden Soeharto pada akhirnya bersedia minggir dari panggung politik. Agen globalis dan kaum pragmatis menguat. Eks anggota dan simpatisan komunis memperoleh sisiran kecil. Maka narasi Pancasila 1 Juni (embrional) mengemuka. Bahkan dilekati dengan nuansa idologi kiri secara kuat. Ganti rugi kejahatan HAM dan pembusukan reputasi Presiden Soeharto sebagai narasi utama.
Kelompok reformis secara perlahan-lahan tersingkir. Pejuang anti KKN, anti dinasti, terpinggir. Itulah yang terjadi era reformasi. Sebagaimana situasi yang kita saksikan saat ini. KKN, politik dinasti, masih saja menguat.
Penomena itu bisa kita lihat dari berbagai perspektif teori.
McAdam, McCarthy & Zald dalam Resource Mobilization Theory: menyebut gerakan massa sebagai koalisi temporer. Banyak kelompok dengan agenda berbeda bisa bersatu hanya selama ada musuh atau target bersama. Teori Konflik (Conflict Theory – Karl Marx, Ralf Dahrendorf): konflik sosial selalu menjadi ajang perebutan kepentingan dan sumber daya.
Teori Hegemoni & Counter-Hegemony (Antonio Gramsci). Narasi “pejuang reformasi” tahun 1998 adalah bentuk hegemoni wacana. Semua orang dipaksa melihat seolah gerakan itu satu. Setelah krisis, barulah terlihat bahwa di balik wacana itu ada counter-hegemonies: kelompok kiri, globalis, oportunis politik, hingga balas dendam ideologis.