Prabowo Antitesa Kepura-puraan Reformasi?

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

 

“Pura-pura reformasi”. Suka tidak suka, kalimat itu lebih mendekati kenyataan. Untuk menggambarkan periode kebangsaan Indonesia. Pasca tumbangnya Orde Baru, hingga kini.

Hingga terpilihnya Prabowo Subianto menjadi presiden. Tahun 2024.

Kenapa begitu?. Kenapa pembatasannya hingga keterpilihan Presiden Prabowo?

Pertama, sejak tahun-tahun awal memasuki era pasca orde baru, gerakan reformasi mengalami disorientasi. Disajikan melalui beragam manuver dekontruksi kebangsaan. Antara diagnosa problem kebangsaan dengan problem solver yang diambil, tidak memiliki kesejalinan.

Contoh: penghapusan GBHN dan MPR sebagai locus of power. Apa hubungan antara tuntutan pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dengan penghapusan itu. Justru menyebabkan ketidakjelasan arah pembangunan bertahap berkelanjutan. Juga ketidakselasan siapa pelaksana kedaulatan itu.

Kedua, sejak tahun-tahun pertama, pengusung reformasi terjebak pragmatisme politik. Para tokoh puncak gerakan reformasi disibukkan konflik politik memperebutkan jabatan-jabatan strategis. Diksi “reformasi” hanya sebagai kedok narasi dari pragmatisme politik yang tengah berlangsung.

Ketiga, dalam periode pendek euphoria, reformasi terlepas dari idiologi gerakannya. Idiologi itu anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Akan tetapi realitasnya KKN justru tumbuh subur dalam era reformasi.

Ketiga hal itu menyajikan bukti kuat bahwa reformasi hanya kepura-puraan belaka. Terlepas dari pijakan idologinya. Hasilnya Indonesia tidak berada dalam jalur perpacuan untuk mempercepat kemajuannya.

Beragam narasi dimunculkan sebagai cerminan kejengahan publik. Terhadap rezim reformasi. Siapapun itu. Neolib. Pemerintahan auto pilot, tersandera oligarkhi, demokrasi dompet. Masih banyak istilah. Ekspresi kejengkelan publik terhadap reformasi. Jauh dari ekspekstasi: peradaban anti KKN yang diusungnya.

Lihat juga...