SAR Wisata Gunung: Investasi Ekonomi ?

Ada banyak kejadian nyawa melayang. Sudah harus menuntut tanggung jawab antisipasi lebih memadai. Agar kejadian kecelakaan fatal tidak berulang.

Terdapat 40 gunung api aktif di Indonesia menjadi destinasi pendakian gunung. Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) mencatat pendaki gunung di Jateng saja pertahun mencapai 960.000. Hampir satu juta pendaki.

Rinjani menerima ~60.000–40.000 domestik plus ~30.000–40.000 mancanegara. Di estimasikan total pendaki gunung di Indonesia mencapai 2–3 juta orang pertahun.

Realitas itu menuntut adanya rescue tetap. Jika tidak pada semua jalur pendakian, setidaknya pada 4 sisi gunung. Jadi memerlukan 40 x 4 = 160 team rescue tetap khusus gunung di Indonesia.

Permasalahannya secara struktur di bawah tanggung jawab siapa rescue ini?. Basarnas tidak menetap di gunung. Mereka hadir ketika terjadi insiden. Perlu waktu lama untuk menjangkau lokasi.

Karakteristik gunung juga memerlukan team rescue yang mengenal medan. Belum tentu tim SARNAS terlatihpun memiliki kecakapan maksimal jika dihadapkan medan yang tidak biasa.

Jika diserahkan pada inisiatif pemda setempat, standarisasi keamanannya menjadi beragam pada setiap daerah. Juga harus menunggu political will pemerintah setempat. Dampak positifnya beban anggaran bisa dibagi pada masing-masing daerah. Karena dampaknya pada wisata daerah.

Gunung berapi di bawah pengelolaan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Secara teknis berada di bawah Balai Taman Nasional (BTN). Idealnya tim SAR khusus gunung api di bawah pengelolaan Kemenhut melalui Balai Taman Nasional.

Problemnya belum ada regulasi yang mengamanatkan Kemenhut memiliki tim SAR khusus gunung.  Sementara menurut UU No. 5/1990 & PP No. 36/2010, pemanfaatan dalam Taman Nasional, diizinkan untuk pendakian, camping, wisata edukasi, kegiatan TO (Trekking Organizer).

Lihat juga...