Street Food, Celemek dan Sarung Tangan

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 14/02/2025

Kenapa kuliner di tempat-temat wisata itu jarang ada yang enak ya”. “Mbok dikasih bawang sedikit, biar ada rasanya”.

Begitu bisik-bisik obrolan ibu-ibu di Kota Tua Jakarta.

Mereka sedang bergerombol makan bersama rombongannya. Ibu-ibu yang lainnya menyahut. “Mungkin tradisi kulinernya begitu, hambar masakannya”.

Benarkah bisik-bisik ibu-ibu itu. Kuliner di kawasan wisata seringkali kurang enak. Hambar. Hanya menjadi pengganjal perut saja?.

Kawasan wisata dimaksud bukanlah kawasan wisata kuliner. Seperti halnya jalan sabang Jakarta. Kemang food court. Maupun street food yang bertebaran di jalanan-jalanan Jakarta. Melainkan kawasan wisata seperti kota tua, pantai carnival Ancol, TMII, Monas, Ragunan.

Nyaris tidak terdengar orang pergi ke tempat-tempat itu untuk berburu kuliner. Ke kota tua: melihat keunikan dan vibes kota tuanya. Pantai carnival Ancol: bermain di pantai. Monas: camping di tanah lapang dengan rerimbunan. Ragunan: melihat binatang. TMII: melihat keragaman budaya.

Jika bisik-bisik ibu-ibu itu benar, mungkin disebabkan “keterpaksaan” demand. Wisatawan yang menumpuk tidak memiliki alternatif untuk destinasi kuliner. Mencari di luar Kawasan wisata terlau jauh. Wisatawan akan menyerbu kuliner yang ada di Kawasan wisata itu.

Dimanja captive market, pelaku kuliner menjadi ceroboh soal kualitas. Tidak harus berkompetisi kelezatan, pendatang terus berdatangan. Pengunjung mencari pengganjal perut setelah capek keliling wisata. Bukan untuk memanjakan lidah oleh kelezatan kuliner.

Pantai Carnival Ancol misalnya. Dipenuhi deretan penjual pop mie. Selain cafe-café besar. Di Monas, Ragunan, TMII juga mirip. Tersedia menu pecel, soto, dan sejenisnya. Banyak di bawah cita rasa standar.

Lihat juga...