Driver Ojol dan Revitalisasi Gerakan Koperasi

Mungkin digitalisasi database perkoperasian sudah ada. Akan tetapi sebagai instrumen bisnis, belum bisa mengimbangi eksistensi flatform-flatform bisnis swasta itu. Kapasitasnya harus ditingkatkan untuk mampu bersaing dengan jaringan bisnis swasta.

Kedua, advokasi bidang-bidang bisnis perkoperasian. Orde baru menetapkan distribusi saprotan (sarana produksi pertanian) harus melalui koperasi. KUD. Koperasi menjadi memiliki lahan bisnis pasti. Pasar pasti (captive market). Sebagai modal pijakan bisnis gerakan koperasi.

Koperasi karyawan. Koperasi angkutan, dan beragam macam privilage lahan bisnis. Diberika pada gerakan koperasi. Itulah yang kemudia memunculkan tudingan kebijakan orde baru sebagai “kebijakan jenggot”. Aktivitas ekonomi yang dikatrol pemerintah. Bukan gerakan tumbuh dari bawah.

Hampir tiga dekade reformasi bisa kita saksikan. Gerakan koperasi tidak bisa tumbuh. Ketika dilepas bertarung dengan swasta besar. Tanpa dukungan “advokatif” dari negara. Perorangan kuat, atau swasta besar menjadi sangat menghegemoni. Ekonomi kosntitusi, koperasi, tidak bisa tumbuh.

Tudingan kebijakan jenggot itu ternyata mematikan geraan koperasi.

Contoh adalah kasus driver ojol-taksol. Ojek online dan taksi online berbasis aplikasi. Para driver diperlakukan sebagai mitra. Melalui sharing keuntungan. Bukan ikatan kerja. Layaknya karyawan dan perusahaan.

Sementara itu perusahaan jasa aplikasi berbisnis memanfaatkan ruang, pasar dan sumberdaya manusia Indonesia. Puluhan ribu driver. Tanpa harus menyediakan armada. Tanpa menyiapkan lahan parkir armadanya. Tanpa dibebani biaya perawatan.

Pola relasi bisnis driver dan jasa aplikasi sebenarnya melabrak prinsip keadilan sosial dan pasal 33 UUD 1945. Jika sahamnya hanya dimilki perorangan kuat. Seharusnya sejumlah saham, menjadi milik secara otomatis para driver. Diberikan amanat oleh UU.

Lihat juga...