Dalil ini melupakan realitas dekade pertama era reformasi. Banyak kepala daerah terpilih tidak memperoleh dukungan mayoritas DPRD. Terjadilah konflik eksekutif-legislatif berkepanjangan. Pemerintahan daerah tidak stabil.
Pertama, maraknya tekanan faksi-faksi kuat DPRD terhadap kepala daerah untuk agenda transaksional. Baik penataan personalia ASN di pemerintah kabupaten/kota. Maupun untuk penguasaan proyek-proyek strategis.
Kedua, terdapat kecenderungan impeach kepala daerah. Diganti wakil kepala daerah yang telah berkoalisi dengan faksi-faksi kuat DPRD. Atau (diharapkan) diganti melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD.
Ketiga, maraknya penyanderaan hukum untuk saling menjatuhkan. Khususnya melalui isu-isu korupsi.
Dinamika itu memicu instabilitas pemerintahan daerah secara berkepanjangan. Selama periode jabatan, diwarnai pertengkaran legislatif-eksekutif. Rakyat dikorbankan. Hak memperoleh kemajuan dalam pembangunan menjadi terabaikan.
Fenomena itu menggiring kesadaran bersama. Ambang batas tinggi mendorong terciptanya stabilitas pemerintaan. Dukungan mayoritas DPRD akan menjamin stabilitas pemerintahan daerah. Maka dibuat threshold tinggi. Kini dibatalkan MK.
Putusan MK-60 itu sebenarnya hanya memutar jarum sejarah. Kembali pada era dimana instabilitas pemerintahan daerah dikhawatirkan terjadi. Akan tetapi itu domain MK. Tidak bisa diabaikan.
Perlu kebijakan jalan Tengah. Policy untuk mengatasi potensi instabilitas pemerintahan daerah. Seberapapun ambang threshold kepala daerah.
Pertama, perlu blue print skala perioritas pembangunan daerah. Untuk menghindarkan show of force kebijakan prestise dengan mengorbankan kebutuhan prioritas daerah. Juga menghindarkan lolosnya proyek-proyek transaksional dengan melabrak kebijakan-kebijakan prioritas.