Perdebatan-perdebatan itu pada akhirnya akan membuka kembali referensi-referensi utama ajaran Islam. Bagaimana posisi dzuriah rasulullah dalam Islam. Bagaimana perlakuan yang seharusnya diberikan kepada dzuriah nabi. Bagaimana pula penghormatan terhadap bani Baalawi yang saleh dan alim. Dan seterusnya.
Ketundukan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW., bukanlah narasi utama dalam ajaran Islam. Ketertundukan dan penghormatan juga merupakan dua hal berbeda. Tunduk hanyalah pada Allah dan Rasunya. Penghormatan ummat juga diberikan kepada para orang alim, orang saleh dan penganjur kearifan sesuai ajaran rasulullah SAW.
Sebenarnya ketika diletakkan pada proporsinya, perdebatan soal Habaib ini dengan sendirinya akan mereda. Sisi positif dialektika soal ini akan menjadikan ummat terbuka pemahamannya tentang bagaimana Islam mengajarkan bersikap dan memberikan penghormatan. Khususnya pada para keturunan Nabi Muhammad SAW.
Isu krusial lainnya soal Salafi-Wahabi di Indonesia. Pertama, terdapat metode dakwah sejumlah aktivisnya bersifat provokatif. Menyalahkan secara terbuka pada pandangan madzhab yang berbeda. Padahal kaidahnya, mengajarkan paham madzhab pada komunitas madzhab yang berbeda itu harus dihindari. Ketika pandangan yang menyesatkan dan mengkafirkan pihak laik dibrodcast, itu dengan sendirinya memicu disharmoni pada pihak lain. Terakhir mencuat kasus Ustadz Andi Hidayat yang divonis kafir oleh aktivis Salafi-Wahabi.
Kedua, perilaku ekpansifnya dalam menguasai fasilitas-fasilitas peribadatan pada mayoritas masyarakat yang berbeda manhaj dengan Salafi-Wahabi. Fenomena ini tidak jarang memicu ketegangan di antara elemen ummat Islam.