Ibnu Salman di Negeri Ibnu Saud
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi
IBNU SALMAN ini, jika tidak tertimpa nasib sangat jelek, misalnya ketiban bom Iran di atas kepalanya, dipastikan bakal segera jadi raja di negaranya, Arab Saudi. Hanya yang membingungkan orang, otaknya yang ada secercah pembaruan itu kenapa harus diisi pula dengan hobi menyekap paman-pamannya dan membunuh wartawan?
Ratusan anggota keluarganya sendiri, yang semuanya bertitel pangeran, ditangkap dan disekap tanpa ampun. Kebanyakan, walau saat itu belum ada Covid-19, sudah di-lock down di hotel mewah Ritz-Carlton, atau ada juga yang dijebloskan ke dalam penjara. Sebagian ada yang sudah dibebaskan, sebagian lagi masih merintih-rintih minta diampuni. Sepupunya, Putri Basmah, menangis siang dan malam minta dibebaskan. Selain disekap sudah berbulan-bulan, ia juga dalam kondisi sakit.
Penangkapan demi penangkapan tersebut, bagian kontroversi pangeran muda ini. Kontroversi lain, ia ogah menghentikan perang untuk memburu orang Syiah di Yaman. Petualangan sang pangeran di Yaman berakhir setelah Teheran mengirim sebuah rudal yang ditembakkan dari Irak ke sebuah lokasi sumur minyak dekat Riyadh. Ibnu Salman terkejut bukan kepalang, yang artinya, jika Teheran mau maka ibu kota Arab Saudi pun bisa rata dengan tanah hanya dengan mengirim jenis rudal yang lebih besar dan lebih banyak sedikit. Ia buru-buru menyetop perang Yaman. Penyetopan yang terlambat setelah negeri asal-muasal para habaib di nusantara ini hancur berantakan akibat ulahnya.
Kelakuan sang pangeran yang berbau politik padang pasir ini, bertolak belakang dengan sejumlah pembaruan di bidang lain. Sang pangeran yang mengecap pendidikan di Amerika dan Eropa ini, telah melonggarkan sedikit ortodoksi Wahabisme yang mencekik itu. Pangeran yang memerintah Arab Saudi atas nama ayahnya yang sakit-sakitan karena uzur itu, menyetujui para perempuan untuk tampil di depan umum dengan mengendarai mobil sendiri. Hiburan seperti pagelaran musik terbuka serta bioskop sudah mulai diperkenankan.