Seorang jurnalis bertemu Presiden Soeharto pasca berhenti dari jabatannya. Presiden Soeharto mengkalkulasi akan ada 500 korban jiwa pada pihak demontran. Ia tidak ingin mengorbankan rakyatnya yang diperjuangkannya itu. Ia memilih menyatakan berhenti dari jabatan.
Berbeda dengan RRC. Mereka memilih mempertahankan stabilitas pemerintahan. Ribuan demonstran dihabisi untuk menjaga kelangsungan rezim. RRC kini menjadi negara maju. Beralaskan darah ribuan rakyatnya.
Kita bisa menduga betapa dilemanya Presiden Soeharto kala itu. Dihadapkan pada dua pilihan sulit.
Mengorbankan ratusan
rakyatnya. Atau mengorbankan kemajuan bersama yang diperjuangkannya sejak lama.
Peristiwa 1998 bisa menjadi pelajaran kita semua. Pelajaran segenap rakyat Indonesia. Pelajaran sebagai sebuah bangsa.
Bagaimana cara mengendalikan perubahan tanpa membawa korban jiwa. Sekaligus tanpa mengorbankan kemajuan.
Ketergesaan-gesaan keinginan rakyat kala itu harus dibayar mahal. Perjuangan untuk take off- harus dimulai kembali lagi dari awal.
Peristiwa 1998 merupakan kaca spion kesejarahan bagi bangsa Indonesia. Pelajaran untuk mencari alternatif paling tepat dalam menghela kemajuan dan memandu perubahan bangsa.
ARS (rohmanfth@gmail.com), 05-05-2024