Dindingnya dari bilik-bilik yang telah usang. Kau tak memiliki barang berharga di dalamnya, hanya emak barang berharga yang kau miliki. Tidak ada televisi apalagi internet seperti yang dinikmati anak-anak penguasa desa. satu-satunya radio butut untuk mengusir sepi sekarang sudah tidak menyala.
Rumah itu telah kehilangan ruhnya tatkala kedua orang tuanmu harus rela menghembuskan napas terakhirnya. Mereka digerogoti penyakit yang dibiarkan begitu saja. Bukan tidak mau berobat, karena faktor rupiahlah yang menjadi penyebabnya.
Bapakmu meninggal saat kau berusia sekolah dasar. Sementara ibumu meninggal saat kau mengenakan putih abu-abu. Kau begitu kehilangan saat itu. Sekolahmu nyaris putus waktu itu. Emaklah yang keukeuh agar kau lanjut sekolah.
Bahkan kau rela hanya makan satu kali dalam sehari. Tidak ada bantuan apa pun dari penguasa untukmu sebagai rakyat jelata. Nyatanya kekayaan hanya dinikmati para pemakai rompi oranye di negerimu. Kau hanya hidup sebatang kara dengan nenekmu yang selalu kau panggil ‘Emak’.
Kau ingin membahagiakan emakmu saat lulus melepas seragam putih abu. Kau bukan orang berada apalagi anak pejabat. Kau melamar di desa yang dekat dari rumahmu. Karena kasihan melihat emakmu yang menjadi babu di rumahnya, lantas Pak Lurah menerimamu.
Ternyata, gajimu tak cukup untuk membeli perabot kesukaan emakmu, apalagi merombak rumah. Terkadang tiga bulan baru kau menerima gaji. Namanya juga sukarelawan. Untuk mengganjal perut saja sudah beruntung tidak menunggu belas kasih orang.
Luput sudah keinginan untuk memiliki rumah permanen. Hanya berita saja di televisi ada bantuan perbaikan tempat tinggal dari Pak Gubernur.