Namun Damar tersenyum gembira begitu menerima undangan dari salah seorang warga yang akan melakukan upacara persembahan sebelum hajat nikah. Terlebih setelah itu akan dilakukan pemasangan besi penangkal petir, artinya ia dapat lebih dalam lagi memasuki area hutan.
Tak lama setelah ritual selesai, kicau sirtu bersahutan di sekitar punden. Burung kecil berwarna kuning kehijauan itu menari di antara ranting pepohonan.
Meloncat-loncat seolah mengejek Damar yang selama ini selalu gagal. Keadaan itu memancing Damar untuk terus mengedarkan pandang, lalu mengambil simpulan bahwa titik itu merupakan tempat berkumpulnya burung sirtu.
Unggas kecil itu kerap bertengger di pohon beringin yang dikeramatkan warga. Damar meyakini di antara dahan itulah mereka beristirahat, setelah setiap menjelang petang ia melakukan pengintaian.
Ia memasang tali pengendali untuk mengamankan diri keesokan harinya. Terlebih tenggat waktu jatuh tempo cicilan juga semakin dekat.
Langit seperti mengizinkan Damar malam itu, purnama menyinari jalan setapak yang dilewatinya. Suara gamelan dari tetangganya yang sedang menggelar hajatan terdengar sayup-sayup, temponya seperti memengaruhi langkah kaki Damar.
Pelan penuh keyakinan. Ketika kerapatan pohon mulai menghalangi sinar bulan, ia menyalakan senter. Sinar itu sesekali membuat gerombolan kelelawar berterbangan.
Dari kejauhan genting punden mulai tampak, sesajen tinggalan warga tiga hari yang lalu juga masih tampak segar, kecuali ayam panggang telah menghilang dicuri entah oleh siapa.
Bekas taburan kembang berserakan di halaman punden. Damar lekas duduk menghela napas sesampainya di bangunan tua itu. Bulu kuduknya seketika meremang kala senter menyorot sisa kepala ayam panggang yang masih utuh di atas nisan danyang desa.