JAKARTA, Cendana News – Dua puluh empat tahun yang lalu, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden.
Peristiwa itu dikatalisasi krisis moneter, dan kemudian disusul krisis politik. Dan, seterusnya memicu krisis multidimensi.
Gelombang tuntutan reformasi menggaung. Presiden Soeharto didesak mundur.
Ketika kunjungan kenegaraan ke luar negeri, di dalam negeri banyak kerusuhan dan meninggal sejumlah aktivis mahasiswa tertembus timah panas.
Siapa yang menembak, atas perintah siapa? Dalam jangka panjang masih misteri.
Ada satu pihak menggambarkan, bahwa inilah cerminan otoritarianisme Orde Baru.
Aspirasi ide dilawan dengan peluru. Ada satu pihak juga meyakini itu tentu bukan perintah Presiden Soeharto.
Justru itu merupakan bagian black campaign untuk mempercepat kejatuhan Presiden Soeharto.
Dengan melekatkan citra buruk dan kejam kepada Presiden Soeharto, maka kemarahan rakyat semakin memuncak untuk membenci dan menjatuhkannya.
Peristiwa itu dilakukan dengan membokong Presiden Soeharto (membidik dari belakang) pada saat kunjungan kenegaraan ke luar negeri.
Di dalam negeri tidak berada dalam jangkauan kendali langsung, karena fokus kunjungan kenegaraan itu.
Ketika Presiden Soeharto kembali dari kunjungan, dalam negeri sudah terlanjur membara.
Gelombang tuntutan Presiden Soeharto untuk berhenti dari jabatannya, menggema.
Gerakan mahasiswa menuntut KKN harus diakhiri dalam praktik penyelenggaraan negara.
Penanggalan Dwi Fungsi ABRI dan demokratisasi penyelenggaraan negara juga merupakan salah satu bagian tuntutan gerakan mahasiswa.
Presiden Soeharto tidak perlu waktu lama merespons itu semua. Ia menyataan berhenti dari kursi Presiden, tepat pada 21 Mei 1998.