Surup

CERPEN EKO SETYAWAN

Kematian Badar sebenarnya sudah ada dalam bayanganku. Sebelum ajal menjemputnya, ada beberapa kejadian dan pertanda yang cukup menguatkan ada yang tidak beres dari diri Badar.

Dari waktu ke waktu, kejadian-kejadian menimpanya. Kejadian pertama yang kuketahui yakni pernah suatu kali Badar tiba-tiba hilang dan ditemukan di rumpun bambu.

Ia ditemukan warga pada pagi hari setelah semalaman mencari. Saat itu, ia ditemukan dalam keadaan linglung dan dari wajahnya seperti sedang mengawang-awang sesuatu.

Keyakinan kami bertambah bulat bahwa pamali telah hinggap dalam diri Badar yakni ketika pada suatu pengujung sore, tiba-tiba Badar berlari-lari dengan badan gemetar dan tak tentu arah.

Ia berlari seperti orang bingung. Ketika azan magrib tiba, ia pingsan tepat di depan pintu rumahnya. Seolah memberi tanda pada kami bahwa jika menjelang magrib, ada baiknya sudah di dalam rumah dan tak keluyuran. Dengungan warga merebak cepat membicarakan hal itu.

“Ia telah melanggar pamali. Maka kini ia menanggung akibatnya,” kata seorang tetangga.

“Kau benar. Itulah akibatnya jika kelayapan ketika surup. Apa sulitnya lekas masuk rumah atau paling tidak menghentikan pekerjaan ketika menjelang magrib,” timpal lainnya.

Kematian Badar tak lain bukti nyata bahwa kutukan melanggar tabu nyata adanya. Banyak orang kadang menyepelekan pamali demi ego mereka dan agar dianggap kuat.

Tapi kadang, banyak orang tak tak sadar bahwa penentu kutukan dari terlanggarnya pamali bukan warga atau tetangga, melainkan apa yang tak terlihat namun nyata adanya.

Kematian Badar telah membuktikan bahwa apa yang terucap dari lidah tentang jangan kelayapan ketika surup bukan semata ucapan tetapi memanglah kenyataan.

Lihat juga...