Aku pernah memperingatkannya untuk tak keluyuran ketika surup tiba. Apa yang kulakukan berdasar pada yang telah kudengar dari tetangga mengenai tindakan Badar.
Demi keselamatannya. Semua demi dirinya sendiri. Aku bukan ingin ikut campur, namun semata peduli. Tapi jawaban yang kuterima saat itu sungguh menyakitkan.
“Aku ada kepentingan. Aku juga tak percaya pada kepercayaan konyolmu itu.” Begitulah jawaban Badar saat itu. Apa yang terlontar dari mulutnya tentu saja bukan semata menjawab peringatan dariku, tapi sengaja mengacuhkan apa yang kukatakan.
Selepas kejadian itu, aku tak lagi mempedulikan perangai Badar. Bukan hanya aku, beberapa tetangga juga telah memperingatkan Badar. Tapi jawaban yang mereka terima tak jauh beda denganku.
Setelahnya, tak ada lagi peringatan atau nasihat atau entah apa namanya yang disampaikan padanya. Badar seolah berkata pada semua warga: aku kelayapan ketika waktu sore berganti malam, dan tak akan terjadi apa-apa.
Entah apa yang ada di pikiran Badar. Ia begitu angkuh. Padahal sudah jelas bahwa surup adalah kutukan. Kutukan bagi mereka yang tak lekas masuk rumah serta bagi yang tak menghentikan kegiatan.
Ketika waktunya tiba, semua orang harus menahan diri dalam rumah. Semudah itu. Tapi Badar tidak melakukannya. Ia memilih kelayapan sesuka hatinya.
Pada akhirnya, ia sendiri yang harus menanggung akibatnya. Akibat dari keangkuhan yang ada dalam dirinya. Tak ada salahnya untuk tidak mempercayai mitos yang ada. Tapi seharusnya paling tidak ia bisa menghormati kepercayaan orang lain.
Terlebih tetangganya sendiri. Hal yang tidak ada dalam diri Badar. Ia benar-benar acuh tak acuh pada kami. Perilakunya seolah menunjukkan bahwa sama sekali tak peduli meskipun menyakiti hati tetangganya. Juga tanggapan dari apa yang kami sampaikan padanya seolah hanya dianggap angin lalu saja.