“Cukup David! Cukup! Kita tidak mungkin bersama!” Majikanku meronta-ronta kala lengan kokoh David berhasil mengapit tubuhnya.
“Beginikah balasanmu atas cinta suciku? Benarkah apa yang dikatakan orang-orang di luar itu bahwa kamu tidak akan melepas gaji pensiunan almarhum suamimu?” kecam David tajam. Gurat wajah David mengeras. Giginya gemeletuk menahan geram.
“Ya, benar,” tukas majikanku sembari menyikut keras dada David. Refleks pelukan kuat David terlepas. Majikanku menggunakan kesempatan itu untuk menjauh.
“Aku memang tak rela kehilangan gaji pensiunan suamiku. Aku lebih memilih hidup nyaman dan tenteram sebagai janda ketimbang hidup tak tentu denganmu,” tandas majikanku, runcing. Aku tahu majikanku berbohong. Apa yang diucapkannya tak sesuai dengan hati nuraninya.
“Oh, jadi begitu?” sergah David emosi. Wajahnya yang bening berkilat kemerahan.
Peristiwa selanjutnya melintas cepat bagai tipuan seorang pesulap. Tak-tak-tak. Aku seolah terjebak. Aku yang sedari tadi duduk tenang mengamati pertengkaran sepasang kekasih yang bagiku hal biasa dibuat terpana seketika. Aku bagai penonton pertunjukan sulap yang telah terperdaya.
Di depanku mendadak saja terhampar dua manusia yang tengah meregang nyawa usai sebuah belati kecil menembus dua jantung secara bergantian. Amat tak kusangka David melakukan hal serupa ini.
Darah meluber menutupi kemilau keramik. Aku meraung-raung. Aku berlari kebingungan. Mendadak aku lupa dimana letak pintu rumah.
Aku menangis dengan suara yang menyayat-nyayat. Berharap orang-orang segera datang menolong majikanku dan kekasihnya.
“Dasar kucing gila! Malam-malam begini berisik!”rentetan caci maki itu lamat-lamat menyelusup celah-celah rumah janda yang setahun lebih menjadi majikanku. ***