“Tok, tok! Assalamualaikum?” Ketukan pintu pula salam memutus senda gurau kami.
Ketukan di pintu makin rapat, membuat majikanku cepat menuju ruang depan. Kuekori langkah majikanku.
“Alaikumsalam. Ya, sebentar!”
“Siapa ya?” tanya majikanku sesaat setelah pintu terbuka. Wajah seorang pemuda yang belum kukenal muncul dari balik pintu.
“Saya David, Bu. Anak Bu Maryam yang punya toko emas Sriwijaya,” jawab tamu itu ramah. Senyum tipis terpulas di bibir pinknya. Dapat kutebak, ia tak merokok. Aku suka pria tak merokok. Begitu halnya dengan majikanku.
“Oh iya. Silakan duduk dulu, saya buatkan minum sebentar.”
“Tidak usah repot-repot, Bu!” sela tamu itu cepat tetapi tetap terlambat. Majikanku sudah berlalu menuju dapur. Kali ini aku tak mengekor langkahnya.
Aku memilih duduk menggelosor di sofa panjang. Mengawasi gerak-gerik pemuda di depanku.
“Silakan diminum tehnya,” ujar majikanku ramah.
Tamu muda itu tampaknya terpesona dengan senyum anggun milik majikanku. Kuamati pemuda itu kikuk untuk beberapa jenak.
“Saya datang ke sini disuruh ibu mengantar dompet. Tadi pagi dompet ini tertinggal di dekat meja kasir.”
“Masya allah … Iya ini punya saya. Alhamdulillah … dompet ini tidak hilang. Terima kasih banyak ya Mas eh Dik David.” Majikanku bersuka cita. Binar-binar bahagia terpancar di wajahnya.
“Panggil saya David saja,” pinta tamu muda itu. Lantas pandang mereka bertemu di satu titik. Aku seolah terjungkal dari ruang ini karena keduanya tengah menyatu di zona merah jambu.
***
Majikanku sedang kasmaran, begitu orang-orang menyebut. Aku tak ambil pusing dengan omongan tetangga. Yang penting buatku, majikanku bahagia.