“Kalau aku jadi dia mungkin aku juga begitu. Kecuali yang melamar orang kaya raya, mungkin aku bisa mempertimbangkan.”
“Jangan mengkhayal! Suamimu cuma tani. Tak dapat pensiun.”
Laju kaki dua wanita buruh tandur itu makin menjauh. Suara bincang mereka mulai terdengar sayup-sayup di telingaku.
“Walaupun istri tani, memangnya aku tidak boleh mengkhayal? Kejam sekali dunia ini…” suara wanita berkerudung coklat terdengar merajuk. Selanjutnya bergema suara tawa dari keduanya.
“Nis….?” panggilan majikanku memangkas pengamatanku. Bergegas kupenuhi panggilan majikan yang sudah menunggu di ruang tengah. Aku lewat pintu samping karena pintu depan terkunci.
“Kok makan siangnya tidak dihabiskan, Nis? Sudah kenyang atau tidak doyan?” deretan tanya dari majikanku membuatku merasa bersalah.
Hendak kujelaskan bahwa bandeng yang kumakan sepertinya mengandung formalin. Terlambat. Majikanku sudah berlalu ke dapur dengan membawa wadah makanku.
Aku berlari-lari kecil untuk menyusul. Ingin kubilang bahwa aku akan menghabiskannya nanti sore. Namun majikanku sudah membuang sisa makan siangku ke tong sampah.
Perilaku majikanku itu di luar kebiasaan. Tak pernah sebelumnya, majikanku membuang-buang makanan begitu saja. Biasanya ia akan menyimpannya lebih dulu.
Kukira ia demikian karena sedang kesal. Tadi pagi dompetnya kecopetan di pasar. Padahal di dalam dompet itu ada sisa gaji pensiun suaminya juga uang jerih payah berdagang.
Kutelusuri paras majikanku dengan seksama. Gurat kelelahan bercampur kesedihan begitu kentara. Aku mendekat untuk menghibur seperti biasa. Kugunakan berbagai cara untuk membuatnya tersenyum. Dan lihat hasilnya! Giginya yang rapi dan putih itu sudah mulai tampak.