Industri Hasil Tembakau Butuh Inovasi
JAKARTA – Pemerintah sejumlah negara, termasuk Indonesia, dinilai harus mengedepankan inovasi berbasis kajian ilmiah dalam pengembangan produk tembakau alternatif, untuk menurunkan prevalensi perokok dengan memberikan insentif bagi industri hasil tembakau.
Di Indonesia, produk tersebut dikategorikan sebagai hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) seperti rokok eletrik (vape), produk tembakau yang dipanaskan, snus dan kantong nikotin.
“Diperlukan kerangka kebijakan publik yang kondusif untuk memberi ruang, agar tercipta lebih banyak eksperimen dan inovasi serta menghilangkan berbagai hambatan dalam industri hasil tembakau,” kata Chief Executive Officer (CEO) Center for Market Education, Carmelo Ferlito, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (21/9/2021).
Dalam webinar “The New Wave of Innovation Policies in Asia”, Carmelo mengatakan selain mengurangi prevalensi, inovasi ini bisa menjadi penopang pertumbuhan, pasar, dan ekonomi.
Sayangnya, menurut dia kebijakan publik yang mendorong inovasi belum banyak dilakukan oleh banyak negara, terutama di Asia, apalagi terkait produk-produk tembakau alternatif.
“Insentif-insentif berperan agar produk-produk inovasi ini bisa menjangkau pasar dan konsumen. Sayangnya, kerangka kebijakan di Asia, masih mengacu pada konsumsi tembakau dan nikotin, masih sangat terfragmentasi,” katanya.
Hal senada diungkapkan Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis UGM, Artiatun Adji. Dalam seminar tersebut, ia menekankan insentif untuk produk inovasi seperti produk tembakau alternatif. Hal itu karena produk itu memiliki aspek pengurangan risiko yang dapat mendorong inovasi yang berkelanjutan.