Dengan merelakan tangannya melepuh dan matanya merah mengering seakan disembur api akibat membuka lembar kitab untuk dihapal, Tarta Tanah Batu mengingat ramalan Nyi Sutim Amiri, andai pun menentang takdir untuk menyuarakan isi kitab ini di masa yang akan datang, kejadian buruk akan menimpa banyak orang. Entah seburuk apa, Tarta Tanah Batu tidak tahu.
Benar seperti apa yang telah dikatakan Nyi Sutim Amiri, saat matahari tenggelam memasuki malam Jumat ke-13, kitab itu menjalar api dan sempat dibuang ke sungai oleh Datuk Tanah Tinggi karena ia masih memerlukan untuk mengingat bagian awal.
Namun, usaha memadamkan api seperti berharap pada Adam diberi kesempatan kedua untuk tidak menelan buah khuldi, yang diketahui hal itu tak akan pernah terjadi.
Ketika Datuk Tanah Tinggi menatapTarta Tanah Batu, ia terlihat sulit mengutarakan apa yang telah dibaca dan dihapalnya. Ia mendesakTarta Tanah Batu, dan Tarta Tanah Batu dengan keyakinan penuh mengatakan telah hapal bagian tengah dan akhir isi kitab itu.
Dua malam setelah Jumat ke-13, mereka terus menggumamkan isi kitab agar tidak hilang dari ingatan. Namun, memasuki malam ketiga, kepala Tarta Tanah Batu dan Datuk Tanah Tinggi mulai terasa panas seperti telah menyala api.
Menyengat bagian kulit bawah rambut dan seperti ada uap berkepul, menandakan isi kepala hendak melepuh.
“Bertahanlah sampai Jumat ke-20,” kata Datuk Tanah Tinggi sambil mempertahankan kepalanya tidak hangus menjadi abu dengan ingatan yang juga akan lenyap.
Tarta Tanah Batu sempat mencoba menuliskan apa yang telah tersimpan di dalam kepala, namun hasil tulisan itu langsung menyala api, hangus terbakar. Sungguh, sangat menyiksa.