Sehari sebelum malam Jumat ke-13, Tarta Tanah Batu dan Datuk Tanah Tinggi mendengar kabar kematian Nyi Sutim Amiri. Banyak orang berduka kecuali Datuk Tanah Tinggi yang masih khawatir dengan keputusasaannya.
Ia tampak seperti mayat hidup yang bergentayangan, berpikir keras akan sesuatu yang tidak mungkin atau sama dengan mendatangkan hujan di neraka.
“Besok malam kitab itu akan terbakar,” ucapTarta Tanah Batu.
Datuk Tanah Tinggi, yang tampak telah lebih dulu menjadi abu, tahu bahkan ia tak mampu menyentuh kitab itu sebab telah hampir menjadi bara.
Namun, sesuatu dari dalam dirinya terus bersikeras. Sambil melihat matahari yang akan muncul, Datuk Tanah Tinggi meyakinkan Tarta Tanah Batu bahwa masih ada waktu untuk sebuah kemustahilan.
Tarta Tanah Batu tampak tak berani menentang dengan mengatakan usaha apa pun akan sia-sia, sebab Nyi Sutim Amiri telah meramal semuanya bahkan kematiannya sendiri.
“Mengapa Datuk bersikeras menyerahkan kitab itu pada Maharaja Dirja?” tanyanya.
Sambil menatap mataTarta Tanah Batu, Datuk Tanah Tinggi berkata ia ingin membuktikan pada semua orang bahwa hanya dia yang mampu melakukan ketidakmungkinan mewujudkan sebuah kitab untuk dapat dibaca banyak orang.
Andai halangannya kitab itu hanya terbakar menjadi abu, ia ingin menulisnya dalam kepala dan menyerahkannya sebagai cerita lisan kepada Maharaja Dirja untuk kelak dapat ditulis kembali.
Maka Datuk Tanah Tinggi memintaTarta Tanah Batu untuk membantunya menghapal sebagian dari isi Kitab Tanduk Kuda.
Tarta Tanah Batu tidak percaya akan melakukannya, namun Datuk Tanah Tinggi meminta dengan sangat berharap, dan tentu saja dengan paghang —yang sempat menempel di leher Nyi Sutim Amiri karena tidak percaya dengan semua omong kosongnya, namun ramalan terbukti, Datuk Tanah Tinggi tidak bisa membunuhnya, sebab leher Nyi Sutim Amiri tak terluka sedikit pun waktu itu — menempel di leherTarta Tanah Batu.