Tarta Tanah Batu mencoba memberitahu Datuk Tanah Tinggi, bahwa Nyi Sutim Amiri hanya seorang peramal.
Namun tidak seperti yang Tarta Tanah Batu pikirkan, menurut Datuk Tanah Tinggi justru karena Nyi Sutim Amiri peramal, tentu ia juga bisa meramal dengan cara apa agar Kitab Tanduk Kuda tidak terbakar.
Begitu hendak mendatangi tempat Nyi Sutim Amiri, Datuk Tanah Tinggi menyelipkan sebilah paghang atau parang di balik punggungnya.
Tarta Tanah Batu tahu, Datuk Tanah Tinggi tidak akan sekadar meminta melainkan mengancam. Tarta Tanah Batu pernah menemani Datuk Tanah Tinggi menghadap pada Dukun Lamo untuk meminta tanah bambu dikosongkan supaya dapat ditinggali, Dukun Lamo menolak karena tanah tempat membangun sudong atau rumah telah diatur sebagaimana ia telah membaca dan berkomunikasi pada alam semesta.
Sehari setelah itu, Dukun Lamo mati dengan kepalanya tidak ditemukan sampai saat ini. Tak ada satu pun orang yang tahu, dan hanya Tarta Tanah Batu yang memang melihat dan berani bersumpah, kalau Datuk Tanah Tinggi mencuci paghang-nya di malam kematian Dukun Lamo, waktu itu.
Nyi Sutim Amiri menyambut kedatangan mereka. Ia berkata, sungguh tidak ada yang bisa diperbuat. Dalam ramalannya, selain ia telah tahu kedatangan mereka saat ini yang tidak sekadar meminta melainkan akan mengancam nyawa, kitab itu akan tetap terbakar.
Mendengar itu, Datuk Tanah Tinggi marah. Sebelum ia menarik paghang dari punggungnya, Nyi Sutim Amiri kembali mengutarakan apa yang telah diramalnya: Datuk Tanah Tinggi tidak akan bisa membunuhnya karena ia akan mati dengan anak panah berapi yang tertancap di dada saat menunggangi seekor kuda.