Aidit Bikin Blunder, Presiden Soekarno Marah Besar

Presiden juga memerintahkan Brigjen Sabur melakukan kontak dengan Komandan RPKAD, yang pada saat itu berada di bawah koordinasi Kostrad, untuk sewaktu-waktu melakukan intervensi jika Presiden dalam bahaya.

Terlepas adanya dua antisipasi itu, mungkin saja Presiden telah memperhitungkan kapabilitas Pranoto Reksosamodro ketika harus berhadapan dengan sikap tegas Mayjen Soeharto-Nasution. Ia telah memiliki referensi bahwa pada hari itu perintahnya agar Mayjen Umar Wirahadikusumah menghadap telah berhadapan dengan kebijakan tegas konsinyir Mayjen Soeharto.

Mungkin Presiden telah memperhitungkan tidak efektifnya pengangkatan Pranoto, namun prioritas dirinya adalah pengakuan kembali eksistensi kekuasaannya. Walaupun secara formal ia berpihak pada Pranoto, calon Aidit, di lapangan ia mempercayakan insting Mayjen Soeharto, yang telah diketahui karakter, reputasi dan sikap tegasnya untuk menghadapinya.

Fase Aidit Berusaha Merebut Presiden

Sesaat setelah penandatanganan Surat Perintah Harian, peruntungan G30S/PKI berubah drastis yang ditandai dengan:

  1. Merosotnya kekuatan militer G30S/PKI karena sebagian besar pasukan terlatih (Yon 454 dan Yon 530) membelot ke Kostrad.
  2. RRI dan Telkom berhasil dikuasai Kostrad.
  3. Mayjen Pranoto, yang baru saja diangkat sebagai carteker TNI AD dan menuju Kostrad atas perintah Aidit, segera dikonsinyir oleh Mayjen Soeharto, sehingga tidak bisa menjalankan Surat Perintah Harian.
  4. Mayjen Soeharto menyampaikan pesan kepada Presiden Soekarno, melalui Bambang Widjanarko dan Kolonel Tjokroparonolo, bahwa untuk sementara menunda pelaksanaan Surat Perintah Harian dengan alasan: (a) Pengejaran dan penumpasan penculik sedang berlangsung; (b) Para jenderal yang diculik belum diketahui nasibnya; (c) melaporkan kepada Presiden bahwa sesuai standing order dan perintah Menhankam/KASAB A.H Nasution, untuk menghindari kekosongan dan kelumpuhan, dirinya memimpin sementara TNI AD. Selanjutnya ia bersedia menerima perintah Presiden Soekarno.
  5. Mayjen Soeharto memerintahkan Bambang dan Brigjen Sabur agar dalam perlindungannya membawa Presiden menuju Bogor sebelum tengah malam.

Menyaksikan perubahan drastis tersebut, pimpinan G30S/PKI hanya bisa termangu-mangu tanpa bisa berbuat banyak. Pada pukul 20.00 WIB, 1 Oktober 1965, pimpinan militer G30S/PKI di Cenko II menyimpulkan gerakan telah gagal untuk kemudian melakukan rapat darurat di markas besar Aidit (rumah Suwardi). Untuk menyelamatkan gerakan, rapat memutuskan akan melanjutkan gerakan dari Yogyakarta dan harus didukung Presiden. Untuk tujuan ini Presiden harus bisa direbut dan diterbangkan ke Yogyakarta.

Lihat juga...