Profesi Belantik di Lampung Masih Menjanjikan

Editor: Koko Triarko

Sutikno biasa membeli kambing dari petani saat kondisi dere atau muda. Sebagian dibesarkan olehnya dan dititipkan kepada sejumlah petani. Keahlian dalam melakukan perhitungan usia, bobot akan menjadi cara menentukan harga. Sebab, setiap kambing dari jenis berbeda akan memiliki nilai jual yang berlainan.

Jenis kambing yang kerap dibeli lalu dijual kembali, sebut Sutikno, jenis kacang, rambon dan kepleh. Rata-rata setiap dua pekan ia mendapat pesanan 30 ekor kambing. Satu ekor kambing yang rata-rata dijual Rp1,5juta, ia mendapat omzet Rp45juta. Hasil penjualan digunakan untuk biaya transportasi, tiket kapal dan biaya operasional lain.

“Margin keuntungan per ekor penjualan kambing bisa menyesuaikan harga jual, kira-kira untung lima ratus ribu masih bisa diperoleh,” terangnya.

Keuntungan lebih tinggi bisa diperoleh pada ternak jenis sapi. Sapi peranakan ongole (PO), limosin, brahman dengan harga jual mulai Rp18juta hingga maksimal Rp22juta. Jenis sapi standar untuk kebutuhan rumah potong hewan, kebutuhan usaha kuliner dipenuhi oleh salah satu kerabatnya. Fokus pada profesi belantik kambing membuat ia kerap dipanggil “Tikno Wedhus” atau pedagang kambing.

Profesi belantik juga ditekuni Slamet, warga Lampung Tengah yang mengirim kambing ke Cilegon, Banten. Ia menyebut, kepiawaian memilih kambing sehat, bobot bagus dipelajari dari sang ayah. Pengalaman mendapat kerugian imbas ternak sakit saat pengiriman, membuat ia pernah merugi jutaan rupiah. Belantik kambing antarpulau, antarprovinsi sekaligus menjadi peluang usaha lain.

“Saat pulang dengan mobil kosong, biasanya akan membawa barang belanjaan jenis pakaian sistem kodian untuk mendapat uang jalan,” sebutnya.

Lihat juga...