BERINGIN tua itu berdiri kokoh dengan daunnya yang rimbun. Batangnya yang tak cukup jika dirangkul tiga orang dewasa, menandakan usianya telah ratusan tahun.
Dari cerita mulut ke mulut, beringin itu ditanam generasi pertama pendiri dusun Wonolopo. Jadi, tak ada yang berani menyentuh, apalagi menebangnya utuh-utuh.
“Ketika Mbah Buyutmu masih kecil, batangnya saja sudah sebesar tujuh pohon kelapa jadi satu”. Demikian Rukmono ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar mendengar cerita kakeknya.
“Kok tidak ditebang saja Kek? Kan bisa untuk membangun rumah atau…”
“Usss…! Kamu itu, jangan berkata begitu! Kuwalat kamu nanti, Ruk. Mana ada warga kampung yang berani. Pohon itu ada yang nunggu!”
Wajah Kakek mendadak pucat. Ia kemudian duduk bersila dan tangannya seperti sikap orang yang menyembah.
“Eyang, nyuwun pangapunten, wayah kula sampun lancang….”
Ia memintakan maaf pada Eyang Wono atas kelancangan bicara cucunya.
Ia melarang Rukmono mengulangi perkataannya. Juga melarang cucunya bermain kelereng di bawah beringin yang luas dan rindang.
Sejak itu, bagi Rukmono, mengingat beringin adalah membayangkan kegelapan yang menakutkan. Tiap berangkat sekolah, ia selalu memilih jalan melingkar. Menghindari beringin, menghindari Eyang Wono yang konon punya taring dan berwajah sangar atau menakutkan.
Dua puluh tahun kemudian keadaan berbalik 180 derajat. Kakeknya sudah lama tutup usia. Rukmono bukan lagi anak kecil yang mudah ditakuti cerita tentang Eyang Wono. Ia telah menyandang gelar sarjana dari universitas ternama. Bahkan, ia mantan aktivis masjid di kampus.
Kini, Rukmono meneruskan misi dakwahnya di tempat tinggalnya. Berkat kegigihan dakwahnya aktivitas keagamaan di Wonolopo kian marak.