Suka dan Duka Pedagang Buku, Ganti Kurikulum Rugi
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Sekarang ini, karena sudah tua, pengelolaan dibantu anak. Kalau koleksi bukunya sudah ada puluhan ribulah. Buku-buku yang sudah rusak, tidak laku dijual, nanti dijual kiloan. Rugi memang tapi mau bagaimana lagi,” tegas pria 65 tahun tersebut.
Sementara, penjual buku bekas lainnya, Siti, saat ditemui di sela berjualan di lapak Cahaya Ilmu, mengaku kian hari penjualan buku bekas semakin sepi. Jika lima tahun lalu, dirinya bisa menjual sebanyak 5-10 buku per hari, kini hanya 2-3 buku. Bahkan terkadang, dalam sehari tidak ada satu buku pun yang terjual.
“Tidak tahu kenapa, apa mungkin karena minat membaca buku sudah berkurang atau persoalan lain, saya tidak tahu. Kalau buku digital, saya kira tidak berpengaruh,” terangnya.
Siti membenarkan jika harga buku yang dijual di kawasan tersebut relatif murah ketimbang di toko-toko buku. Perbandingan harganya bisa mencapai 50-60 persen, meskipun tidak semua buku.
“Ya harga buku bekas dibanding buku baru, pasti lebih murah. Bisa lebih murah dari separuh harga baru. Bukunya baru atau bekas kan sama saja, ilmu yang didapat juga sama. Materinya juga sama,” terangnya.
Dirinya pun berharap, minat masyarakat untuk membaca buku bisa terus meningkat, sehingga penjualan buku juga ikut naik.
“Sama satu lagi, jangan sering-sering ganti kurikulum. Biasanya ganti menteri pendidikan, kurikulumnya berganti, kita pedagang buku jadi sering merugi, karena buku lama tidak bisa dijual lagi,” tegasnya.
Sedangkan, salah satu pembeli, Nurhayati yang ditemui tengah memilih buku, mengaku sedang mencari buku akuntansi untuk materi perkuliahan.
