Suka dan Duka Pedagang Buku, Ganti Kurikulum Rugi
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Jika sebelumnya, banyak orang tua yang memilih membeli buku bekas karena lebih murah, kini sudah jarang yang melakukannya.
“Biasanya kalau ada yang beli, hanya untuk mengganti buku paket dari sekolah yang rusak atau hilang. Buat mengganti ke pihak sekolah,” ungkapnya.
Persoalan lainnya, pergantian kurikulum yang terkadang tiba-tiba atau revisi buku dalam hitungan bulan, membuat kerugian yang cukup besar bagi pedagang.
“Contohnya, buku pelajaran dari kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013 (K13). Kita yang sebelumnya punya banyak stok buku K 2006, tiba-tiba sudah tidak laku lagi dijual karena kurikulum berganti,” jelas Marno.
Tidak hanya sekali, namun dua kali dirinya harus mengalami kejadian serupa. Sebab selain menjual buku bekas, dirinya menjual buku baru, meski tidak banyak.
“Saat berganti ke K13, akhirnya saya mengalahi membeli buku kurikulum tersebut, namun ternyata tidak sampai 6 bulan. Keluar buku baru K13 yang sudah direvisi. Wah langsung pusing saya waktu itu, padahal stok bukunya banyak. Sejak saat itu, kalau ada yang nawarin buku pelajaran saya tolak, sekarang menghabiskan stok yang ada saja,” tegas kakek dua cucu tersebut.
Disinggung terkait pandemi, Marno mengaku juga turut berpengaruh pada penjualan buku bekas, meski tidak terlalu signifikan.
“Sekarang ini kan belajarnya online, materi juga banyak dari online. Biasanya mereka, khususnya mahasiswa banyak yang beli ke mari, dibanding beli buku baru, banyak yang memilih buku bekas. Apalagi materi buku perkuliahan tidak sering berganti,” terangnya.
Meski tidak mau menyebutkan secara pasti jumlah buku yang dijual, namun Marno mengaku tetap akan setia menjual buku bekas hingga akhir hayat nanti.