Dia pernah berjanji pada dirinya sendiri: jika pandemi berakhir, hal pertama yang ingin dilakukannya adalah datang ke kantor pos lebih pagi dari biasanya. Namun, dia terlambat bangun. Sampai di kantor pos suasana terlihat lengang.
Di halaman parkir ia melihat sebuah bunga papan—sepertinya sebuah ucapan selamat untuk kebahagiaan seseorang. Ketika wajahnya muncul di pintu masuk, seorang petugas loket—yang tidak asing lagi baginya—memberi isyarat kepadanya agar bergegas. Dia tahu, kantor pos hanya buka setengah hari setiap Sabtu.
“Masih ada waktu, kan?”
Petugas loket itu mengiyakan. Sambil melayaninya, petugas loket itu bercerita bahwa hari itu harus bertugas sendirian. Hatinya terusik mendengar cerita itu. Itu hari yang istimewa dan dia ingin merayakannya dengan melihat wajah seseorang.
Dia begitu penasaran dengan wajah yang selalu tertutup masker itu sehingga dia berjanji bahwa suatu hari dia harus melihatnya.
“Dia menjalani hari bahagianya hari ini,” jelas petugas loket itu. “Sudah direncanakan sejak lama, tapi karena wabah, pernikahannya terpaksa ditunda.”
Dia mengangguk-angguk kecil. Pikirannya tersedot ke tempat yang lain—ke sosok perempuan yang diharapkan kehadirannya.
“Anda sendiri, kenapa tidak merayakan hari ini seperti yang lainnya? Ke luar, ke jalan dan melemparkan masker ke dalam tong sampah.”
Penjaga loket itu tersenyum tipis. “Saya akan pulang dan tidur setelah kantor ini tutup. Rhinitis saya kambuh. Tanpa ada wabah ini pun, saya tetap sering memakai masker.”
Dia sedikit menyesal telah menyinggung soal masker. “Tuhan maha baik,” hiburnya. Dia akan melindungi para penderita rhinitis dari segala macam wabah.”