Kantor Pos di Jalan Kenari

CERPEN TJAK S. PARLAN

Dia mengernyitkan dahi. Dalam situasi normal, obrolan semacam itu tidak pernah terjadi antara petugas loket dan seorang nasabah. Namun, dia menyadari sepenuhnya bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja.

“Ya, saya paham, tapi dengan jarangnya orang berkunjung seperti sekarang, pelayanan jadi lebih terasa manusiawi.”

“Maksud Bapak?”

“Ya, saya bisa mengobrol ringan dengan Anda. Seperti ketika saya mengobrol dengan tetangga atau kawan lama,” jawabnya seraya tersenyum.

Perempuan itu berusaha menahan tawanya dan mulai mengerjakan bagiannya: menyalin ulang alamat yang tertera di amplop, mencetak resi pengiriman, dan menyerahkan sebuah salinan kepadanya untuk dibubuhkan tanda tangan. “Maaf, Pak. Saya jadi seperti sedang curhat,” ujar perempuan itu kemudian.

Kali ini dia tertawa. “Berarti orang-orang di sini tidak suka dengan kehadiran saya, ya?”

“Bukan begitu, Pak,” tanggap perempuan itu. “Justru sebaliknya, kalau Anda datang berarti tempat ini masih sepi. “Lagi pula, siapa yang akan menulis surat pada zaman seperti ini?”

Dia tergelak dan perempuan itu pun menahan tawa. Dia meninggalkan kantor pos dengan langkahnya yang enteng melambai kepada satpam dan mengayuh sepedanya pelan-pelan menyusuri jalanan.
***

UNTUK pertama kalinya setelah enam bulan, pemerintah kota merilis data yang menggembirakan: tidak ditemukan satu pun kasus baru warga yang terjangkit wabah. Lalu pada suatu hari kota pun mulai dibuka.

Orang-orang merayakannya dengan keluar ke jalan-jalan. Mereka mengunjungi tetangga, kawan lama, keluarga, rekan kerja, atau kekasih. Ada juga yang menandai hari itu dengan berdoa di rumah-rumah ibadah. Namun, dia memiliki rencana yang lain.

Lihat juga...